Samarinda - Kenaikan tarif tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di kota Balikpapan, Kalimantan Timur mengejutkan masyarakat. Hal itu lantaran nilai kenaikan PBB yang mencapai ribuan persen dianggap tidak wajar, bahkan terkesan asal-asalan. Salah satu contoh, tagihan PBB warga di Balikpapan Utara yang naik dari Rp 306 ribu menjadi Rp 9,5 juta. Meskipun kenaikan itu telah diklarifikasi oleh Kepala BPPRD Balikpapan, Idham Mustari yang menyebutkan bahwa kenaikan itu akibat “kesalahan teknis” (Tribunkaltim.co, 22/08/2025).
Namun pengamat kebijakan publik Balikpapan, Hery Sunaryo menilai alasan itu tidak bisa diterima begitu saja. Menurut Hery Sunaryo, kebijakan ini jelas menambah beban pengeluaran bagi warga, khususnya pensiunan dan kelompok menengah ke bawah.
Kebijakan kenaikan PBB-P2 tahun 2024–2025 tersebut juga menuai kritik keras dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Organisasi mahasiswa itu menilai langkah pemerintah tidak berpihak pada masyarakat kecil dan minim dasar hukum yang jelas. GMNI pun mengajak masyarakat untuk tidak tinggal diam. Maha menekankan perlunya kesadaran kolektif agar warga bersama-sama mengawal kebijakan PBB-P2 yang dinilai bermasalah ini (Niaga.asia, 21/08/2025).
Melihat reaksi penolakan dari masyarakat dan mahasiswa, Pemerintah Kota Balikpapan, Kalimantan Timur akhirnya memutuskan menunda penyesuaian tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Keputusan ini diambil setelah adanya surat edaran Menteri Dalam Negeri tertanggal 14 Agustus 2025 yang meminta kepala daerah mengantisipasi polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan di daerah.
Kezaliman Kapitalisme
“Dimana bumi dipijak, disitu rakyat dipajak”, itulah bunyi pepatah yang sengaja dipelesetkan oleh rakyat. Pribahasa ini menggambarkan kondisi negara dan rakyatnya sedang tidak baik-baik saja. Di Indonesia, pajak bumi dan bangunan kian hari semakin naik. Begitupun di Balikpapan juga mengalami kenaikan tarif pajak hingga 3000 persen. Hal ini menunjukkan pemerintah pusat dan daerah seakan gila-gilaan mengeksploitasi rakyatnya dengan memungut pajak yang sangat tinggi.
Kenaikan pajak ini tentu semakin memberatkan rakyat apalagi tanpa diiringi tingkat kesejahteraan yang layak. Masyarakat pun menjadi ladang perburuan pendapatan negara, bahkan tanpa memedulikan kondisi ekonomi rakyat yang makin terjepit. Mulai dari pajak pertambahan nilai, (PPN) pajak bumi dan bangunan, (PBB) pajak kendaraan bermotor (PKB), pajak warung makanan, hingga pajak preman, ditambah retribusi ini dan itu.
Padahal negeri ini dikenal kaya raya dengan sumber kekayaan alam yang melimpah ruah, tetapi penguasa tidak pernah mampu menyejahterakan rakyatnya. Ini karena seluruh sumber daya tersebut justru jadi rebutan pengusaha yang berkolaborasi dengan para penguasa. Pada saat yang sama, modal untuk menyejahterakan rakyatnya hanya bertumpu pada pajak dan utang yang ujung-ujungnya tetap saja membebani pundak rakyat, bahkan makin mencekik leher mereka.
Inilah bentuk kezaliman nyata dalam rezim kapitalisme. Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Negara pun merasa sudah menjalankan tugasnya hanya dengan memungut pajak dan mendistribusikannya dalam belanja negara serta menggunakannya untuk proyek-proyek yang menguntungkan kapitalis dan wakil rakyat. Negara semakin tak perduli dengan kesusahan rakyatnya.
Pajak dalam Sistem Islam
Islam memosisikan rakyat sebagai tanggung jawab negara. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Pemimpin dalam sistem Islam wajib bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok tiap-tiap rakyat yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dana untuk mencukupi kebutuhan rakyat berasal dari Baitulmal. Negara mengelola Baitulmal (APBN) untuk mencukupi kebutuhan rakyat secara makruf (layak/baik) berdasarkan prinsip syariat.
Negara Islam memiliki banyak sumber pemasukan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Berdasarkan buku Sistem Keuangan Negara Khilafah karya Syekh Abdul Qadim Zallum, pemasukan Khilafah berasal dari tiga bagian, yaitu fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan zakat. Bagian fai dan kharaj terdiri dari seksi ganimah, kharaj, status tanah, jizyah, fai, dan dharibah. Bagian kepemilikan umum terdiri dari seksi migas; listrik; pertambangan; laut, sungai, perairan, dan mata air; hutan dan padang rumput; serta aset yang diproteksi negara. Bagian zakat terdiri dari zakat uang dan perdagangan; zakat pertanian dan buah-buahan; serta zakat ternak sapi, unta, dan kambing.
Semua pemasukan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan membangun negara tanpa mengalami defisit. Bahkan, dari pengelolaan sumber daya alam yang terkategori kepemilikan umum saja sudah cukup untuk kebutuhan rakyat. Sebab, Allah Swt. telah mengaruniakan kekayaan alam yang luar biasa di negeri-negeri muslim berupa hutan, laut, sungai, bermacam-macam tambang (migas dan mineral), dan lainnya.
Adapun pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Ia adalah jalan terakhir yang diambil apabila Baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim saja. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf.
Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan Baitulmal dalam memenuhi kewajibannya. Pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan Baitulmal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan. Pajak dalam Islam diterapkan secara temporal, bukan menjadi penerimaan rutin sebagaimana yang kita rasakan hari ini.
Dengan pengaturan pajak yang sesuai Islam tentu rakyat tidak akan terzalimi. Negara Islam akan membuat kebijakan yang mengacu pada hukum-hukum syariat sehingga tidak akan bingung mencari sumber pendapatan negara, apalagi sampai tega memalak rakyatnya dengan pajak. Wallahua’lam bishshawab.
Oleh : Ita Wahyuni, S.Pd.I. (Pemerhati Masalah Sosial)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru