Samarinda - Tak henti-hentinya generasi di negeri ini dirundung berbagai masalah. Mulai dari bullying, penyimpangan seksual, pinjol, judol bahkan sampai kekerasan atau pelecehan seksual. Tak usah ditanya dampaknya.
Sungguh sangat mengerikan. Generasi semakin rapuh jiwanya dan tak aman dalam menjalani kehidupan. Bahkan, pelaku dari kasus-kasus tersebut banyak dari orang-orang yang berpendidikan dan sudah seharusnya memberikan perlindungan kepada generasi.
Seperti yang terjadi pada salah satu kampus ternama di Kalimantan Timur. Tiga dosennya diduga melakukan kekerasan seksual.
Anehnya, meski Satgas PPKS di kampus tersebut telah merilis kasusnya dan dinyatakan terbukti, namun sanksi terhadap dosen tersebut tidak kunjung keluar. Menteri BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) di kampus tersebut, Devy Khusnul Khotimah mengatakan bahwa setelah adanya kasus ini, kode etik kampus tersebut belum berjalan. Padahal, kata Devy kode etik itu penting untuk spesifikasi dalam mengatur bentuk sanksi dan pelanggaran.
Peran rektor dibutuhkan dalam menyikapi permasalahan ini seperti mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk pemecatan atau dalam bentuk apapun. Namun sayang, rektor di kampus tersebut malah menyerahkan kasusnya kepada Kemendikbudristek. Selain itu, puluhan mahasiswa menyerbu Gedung Rektor karena dugaan seorang dosen yang sedang diproses hukum namun terpantau masih berkegiatan di kampus. Kata Devy, demo tersebut disebabkan seorang dosen yang tengah diproses hukum di kejaksaan dan diundang dalam agenda diskusi. (Kaltim Post.id 27/8/2024).
Terus Terjadi
Melonjaknya kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual hingga berjumlah ratusan ribu telah mengindikasikan bahwa negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar ketiga di dunia ini telah mengalami darurat kekerasan seksual. Kasus-kasus ini tentunya membuat kita bergidik ngeri dan ingin segera menyelesaikannya hingga sampai ke akar permasalahan. Strategi atau solusi yang ditawarkan oleh pemerintah dan lembaga terkait harus menyentuh akar permasalahan. Bukan sekedar solusi pragmatis yang hanya berfokus menyelesaikan cabang masalah.
Sesungguhnya akar permasalahan banyaknya kasus kekerasan atau pelecehan seksual adalah istilah consent (sama-sama suka atau setuju). Jika hanya salah satu pihak yang suka, maka perbuatan tersebut baru digolongkan pelecehan atau kekerasan seksual. Jika keduanya consent, maka tidak disebut pelecehan atau kekerasan seksual. Alhasil perzinahan di negeri ini semakin marak karena mudah dilegalisasi dengan istilah consent.
Belum lagi adanya peraturan pemerintah terbaru yang seakan-akan juga melegalisasi perzinahan yaitu PP No 28/2024 yang mengatur “penyediaan alat kontrasepsi pasangan usia subur dan kelompok yang beresiko.” Pasal ini bisa diartikan legalisasi zina dan perilaku penyimpangan seksual. UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) juga nyata-nyata belum bisa menghentikan laju kasus kekerasan seksual. Semenjak disahkannya UU ini pada tahun 2022, angka kekerasan atau pelecehan seksual justru merangkak naik tanpa bisa dihentikan.
Solusi-solusi yang ditawarkan pemerintah dan lembaga terkait dalam menyelesaikan permasalahan kasus kekerasan seksual nampak hanya solusi pragmatis seperti memberikan perlindungan dan pendampingan korban tanpa mencari tau akar masalah mengapa korban-korban pelecehan seksual terus berjatuhan. Padahal akar masalah nya juga disebabkan oleh sistem kehidupan hari ini yang sekuler dan permissif (serba boleh).
Akhirnya konten-konten berbau syahwat banyak beredar, khalwat dan ikhtilat (campur baur) antar lelaki dan perempuan di normalisasi dan ditambah tidak adanya aturan tegas terhadap perbuatan zina yang dilakukan rakyat seperti pacaran, kumpul kebo, open bo, perselingkuhan, dan sebagainya. Kalau sudah begini, wajar kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual akan terus ada dan bervariasi bentuknya.
Oleh sebab itu, kita perlu solusi tuntas yang benar-benar bisa menyelesaikan kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual.
Hal ini penting untuk menyelamatkan kehidupan generasi dari perilaku yang merusak diri dan masa depan mereka. Tentunya solusi ini harus sesuai dengan apa yang Allah ridhai. Bukan solusi yang hanya berdasarkan kepentingan sendiri.
Bagaimana Islam Menyikapi?
Sesungguhnya generasi bangsa ini perlu pembinaan agama yang akan menguatkan iman dan akidahnya hingga menjadi benteng diri dan syariat Islam kaffah yang merupakan petunjuk dan pedoman hidup di tengah badai arus liberalisasi perilaku. Berikut strategi Islam dalam menyelesaikan kasus pelecehan dan kekerasan seksual.
Pertama, Islam memerintahkan agar setiap individu Muslim memiliki ketakwaan pada dirinya sehingga muncul rasa takut untuk berbuat maksiat. (QS Al-Furqan ayat 29).
Kedua, tidak hanya ketakwaan individu yang dimunculkan, Islam juga memerintahkan ketakwaan masyarakat dan negara. Ketakwaan masyarakat diwujudkan dengan adanya tradisi amar makruf nahi mungkar agar tidak ada yang berani bermaksiat, menjaga interaksi antar lawan jenis seperti menjauhi khalwat dan ikhtilat, menutup aurat dan menjaga pandangan. Harapannya kehidupan sosial dalam sistem Islam adalah kehidupan yang sehat dan mulia karena menjunjung tinggi nilai moral.
Ketiga, Negara yang bertakwa. Ketakwaan negara diwujudkan dengan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam sehingga generasi terjaga pola pikir dan pola sikapnya yang sesuai Islam.
Negara juga memastikan tegaknya pelaksanaan hukum syara’ di bidang yang lainnya seperti bidang politik dan ekonominya. Caranya negara memiliki kedaulatan bahwa hukum syara’ di atas segalanya sehingga negara akan memblokir konten-konten berbau pornografi yang beredar luas di kalangan masyarakat, menutup tempat-tempat yang terindikasi ada perzinahan seperti kelab-kelab malam, lokalisasi, tempat karaoke, melarang adanya konser dan mengatur perizinan tempat-tempat penginapan agar tidak mudah ditempati oleh mereka yang belum menikah.
Walhasil, sudah sepatutnya pemerintahan menjadikan syariat Islam kaffah menjadi sumber lahirnya aturan yang akan mendatangkan kebaikan dan kesucian kehidupan bagi generasi bangsa. Imam Malik bin Anas berkata: “Tidaklah akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat generasi awalnya menjadi baik (Islam).
Wallahu ‘alam bis shawab.
Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti S. Ag
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru