Samarinda - Berbicara tentang Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak pernah ada habisnya, setelah perayaan kemerdekaan 79 tahun di ibukota nusantara yang penuh dengan euphoria , ternyata masih saja ada menyisakan beberapa persoalan di tengah masyarakat terutama yang ada di wilayah sekitar IKN. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan pembangunan IKN yang dipercepat justru berimbas pada tata kelola Otorita IKN, investasi yang belum mencapai target hingga masalah status tanah warga yang terus berlarut-larut. Bisa jadi ini karena tidak sesuai dengan teknis juga atau regulasi ingin dibuat cepat-cepat
Meskipun pemerintah banyak menggaungkan betapa menariknya IKN bagi investor asing, daftar investor IKN masih di dominasi oleh perusahaan dalam negeri dan pihak swasta. Pada akhir Januari 2024, total investasi yang masuk untuk pembangunan IKN mencapai Rp 47,5 triliun. Angka ini tidak mencapai setengah dari target investasi untuk IKN selama 2024, yaitu Rp 100 triliun, menurut Bambang Susantono yang saat itu masih menjabat Kepala Otorita IKN. Angka Rp 47,5 triliun juga jauh dari total anggaran pembangunan IKN, yakni Rp 466 triliun. Sedangkan menurut perkiraan Bappenas, mencapai Rp119,8 triliun. Itu artinya, pemerintah masih defisit Rp346,2 triliun.
Per Juni 2024 utang pemerintah malah membengkak hingga tembus Rp 8.444,87 Triliun dengan rasio utang terhadap PDB sudah menginjak 39,13%. Padahal, pada Desember 2023, utang negara “masih” sebesar Rp 8.144,69 triliun dengan rasio terhadap PDB “masih” sebesar 38,59%. (bbc.com/5juni 2024)
Untuk mengisi jabatan Kepala Otorita IKN, Presiden Jokowi menunjuk Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono sebagai Pelaksanakan Tugas (Plt) Kepala Otorita IKN. Salah satu tugasnya adalah mempercepat realisasi program pembangunan Ibu Kota Nusantara melalui penyelesaian persoalan status tanah dan pembentukan pemerintah daerah khusus IKN. Dalam jumpa pers, Basuki menjelaskan bahwa pelaksanaan pembangunan IKN terganjal persoalan status tanah kepentingan investasi di IKN. Pasalnya, sebagian besar lahan di IKN statusnya masih tumpang tindih antara hak guna usaha (HGU) yang menjadi milik pemerintah dan tanah yang diklaim milik masyarakat setempat.
Dalam rapat dengan DPR pada Maret 2024 lalu, Kepala Otorita IKN Bambang Susantono mengatakan pihaknya mengikuti mandat dalam Undang-Undang nomor 21 tahun 2023 yang mengatur soal kepemilikan tanah. Dalam Pasal 15 alinea 6 tertulis bahwa Otorita IKN berwenang melakukan penataan ulang tanah di wilayah ibu kota melalui mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Namun pada kenyataannya tanah yang di cap tidak memiliki fungsi ini ternyata sudah di tempati masyarakat adat sejak lama.
Dengan kurangnya dana yang berasal dari investor maka negara akan mengambil pendanaan dari APBN yang tentu akan semakin membebani keuangan negara dan juga rakyat karena pada akhirnya akan ada kenaikan pajak bagi rakyat. Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar dari APBN.
Untuk persoalan ganti rugi lahan rakyat, pemerintah pusat sudah menyiapkan dana ganti rugi sebesar Rp 90 miliar untuk 2.086 hektar lahan warga yang terdampak pembangunan IKN. Namun ternyata masih banyak warga yang belum mendapatkan kompensasinya bahkan nilainya terlalu kecil seperti yang dialami Sukini, warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser punya lahan seluas 13.200 meter persegi terkena KIPP IKN dan dibebaskan pemerintah. Setelah dinilai tim appraisal, total uang yang diganti rugi atas lahan seluas itu senilai Rp 190.384.111.(Rp 14.423 per meter). Warga di desa yang sama, Teguh Prasetyo, juga termasuk yang masih menunggu kejelasan pemerintah soal uang ganti rugi pembebasan lahan miliknya seluas 2.600 hektar. Padahal dia sudah menunggu selama dua tahun. Pria yang sudah menetap di Sepaku selama 38 tahun ini mengatakan tanah itu sedianya akan dibangun untuk usaha kos-kosan dan ruko. (bbc.com/8 agustus 2024)
Setelah warga kehilangan lahan, kebun berhektar, rumah dengan ganti rugi yang kecil tentu sangat menyengsarakan karena untk mendapatkan lahan yang sama sebagai sumber pendapatan akan sangat mustahil.
Paradigma pembangunan dalam sistem kapitalisme sekuler, jelas berbeda dengan pembangunan dalam sistem Islam. Dalam system kapitalis sekuler maka pembangunan sesuai dengan kepentingan Oligarki-korporatokrasi. Data Credit Suisse menyebutkan 10% orang terkaya Indonesia menguasai 75,3% total kekayaan secara nasional. Penguasa mendapat support modal untuk sampai pada kursi kekuasaan, sekaligus support modal untuk menjaga kekuasaan demi mengejar rente proyek pembangunan. Di sisi yang lain, pengusaha mendapat privilege berupa lahirnya kebijakan yang memuluskan target perluasan bisnis dan akumulasi modal perusahaan, juga atas nama pembangunan. Sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir adalah saling menguntungkan buat penguasa dan pengusaha, mengabaikan kemaslahatan rakyat.
Di dalam sistem Islam (Khilafah), tujuan pembangunan infrastruktur adalah untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat, bukan untuk keuntungan pribadi penguasa dan pengusaha kroninya. Ketika keberadaan sebuah infrastruktur dipandang tidak membawa maslahat, pembangunannya tidak akan dilakukan. Demikian halnya jika pembangunan infrastruktur itu akan merampas ruang hidup rakyat, menggunduli hutan, merusak sumber air, dan mematikan ekosistem.
Sepanjang sejarah peradaban Islam, Khilafah melakukan pembangunan aneka infrastruktur seperti permukiman rakyat, istana negara, masjid, taman, jembatan, sekolah dan kampus, perpustakaan, dan rumah sakit. Namun semuanya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat sehingga hasilnya adalah kesejahteraan, bukan ketertindasan.
Khilafah tidak akan membangun infrastruktur tertentu jika membawa mudarat bagi rakyat. Sebagai contohnya, Khalifah Umar bin Khaththab ra. pada masa pemerintahannya pernah melarang pembangunan masjid yang akan menggusur rumah seorang Yahudi yang sudah tua. Inilah contoh pembangunan yang sangat memperhatikan kemaslahatan rakyat.
Para khalifah benar-benar paham, bahwa amanah kepemimpinan akan menjadi jalan diperolehnya kebahagiaan dan penyesalan, sebagaimana sabda Rasul saw., “Sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah ﷻ pada Hari Kiamat dan paling ‘dekat’ tempat duduknya dari-Nya adalah seorang pemimpin yang adil, sedangkan orang yang paling dibenci Allah pada Hari Kiamat dan paling keras siksanya adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR Ahmad).
Syariat juga menetapkan bahwa pemimpin umat (khalifah) adalah pengurus (raa’in) dan penjaga (junnah) bagi seluruh rakyatnya. Semua tugas ini dipandang sebagai amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Bukan hanya atas umat secara komunal, tetapi atas mereka secara individual.
Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari). Oleh karenanya, mereka sangat hati-hati dalam menjalankan amanah kepemimpinan.
Penderitaan yang dirasakan rakyat hari ini semestinya tidak terjadi jika mereka diurus oleh sistem kepemimpinan Islam (Khilafah). Sistem ini benar-benar akan memerdekakan karena tegak di atas paradigma yang benar dan transendental, yakni akidah Islam dengan standar amal berupa hukum-hukum Islam yang diterapkan sebagai sistem kehidupan. Paradigma dan standar seperti inilah yang menutup celah bagi penjajahan karena sama sekali tidak memberi ruang kedaulatan bagi manusia yang serba lemah untuk membuat aturan kehidupan yang sarat kepentingan. Sementara itu, kekuasaan dalam Islam dipandang sebagai milik umat yang diserahkan pada pemimpin pilihan (khalifah), itu pun semata dalam rangka menegakkan kedaulatan syariat Islam melalui akad baiat kepemimpinan.
Sungguh masa ini akan tiba sebagaimana Allah telah berjanji dengan selalu mempergilirkan kekuasaan yang ada di muka bumi ini, maka akan tiba masanya islam juga kembali berkuasa tapi menuntut untuk perjuangan dari seluruh lapisan umat.
Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh dr. Hj Sulissetyowati
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru