Ada istilah yang digunakan untuk mengklasifikasikan kemiskinan, ada miskin ekstrem dan miskin biasa. Badan Pusat Statistik menyatakan, perbedaan antara miskin biasa dan miskin ekstrem dapat dilihat dari sisi pengeluaran. Dikatakan miskin ekstrem ketika pengeluaran sehari-hari Rp10.739 per hari dan Rp 322.170 per bulan. Sedangkan, Miskin biasa pengeluaran sehari-hari Rp 15.750 per hari dan Rp 472.525 per bulan (Mediaindonesia.com, 17 Okt 2024)
Dengan demikian, seseorang yang berpenghasilan Rp 600.000 per bulan sudah dianggap tidak miskin. Sungguh tidak masuk akal, dapatkah Rp 600.000 untuk memenuhi keperluan dasar sandang pangan papan. Apalagi dengan berbagai tarif yang semakin naik, dari harga bahan pokok, BBM, gas, hingga PPN.
Saya sempat mengobrol dengan seorang bapak pemulung yang sering lewat di lingkungan rumah saya, usianya sekitar 55 tahun dan nyaris buta huruf, hidup dengan dua orang anak, memiliki penghasilan dari mulung kisaran Rp 12.000 - Rp. 20.000 per hari, Beliau mengatakan sangat jarang mendapatkan Rp 20.000 per hari. Mari berhitung sedikit, seandainya, kita anggap saja penghasilannya stabil di Rp 20.000 per hari maka penghasilan sebulan Rp 600.000, kalau mengikuti standar garis kemiskinan di Indonesia maka si Bapak pemulung tidak termasuk miskin. Padahal dari penghasilan ini beliau harus membayar sewa rumah sepetak termasuk air listrik Rp 550.000 per bulan, untuk keperluan makan sehari hari anak pertama yang remaja terpaksa bekerja serabutan menjadi buruh dipasar, tentu tidak bersekolah begitu juga anak keduanya. Sempat bersekolah SD, namun akhirnya berhenti dan ikut mulung. Jika diberi bantuan berupa sembako, beliau akan berusaha menjualnya kembali, karena percuma saja beliau tidak mampu membeli gas melon untuk mengolah sembako tadi menjadi makanan jadi. Lalu, bansos yang menjadi program andalan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, Beliau mengatakan pada tahun 2023 kadang kala beliau pergi ke kantor pos untuk mengambil bansos sesuai arahan ketua RT setempat. Namun, hal ini bukan sesuatu yang pasti beliau dapatkan setiap bulan. Ini baru satu kisah nyata seorang kepala keluarga yang berpenghasilan Rp 12.000 – 20.000 per hari. Kita tahu ada jutaan lagi yang bernasib seperti bapak pemulung ini.
Pemerintah bisa saja mengklaim adanya penurunan kemiskinan ekstrem di tahun 2024, dilengkapi dengan data data mutakhir resmi. Bagi mereka kemiskinan seperti permainan mengutak atik angka. Bagaimana mungkin seseorang yang penghasilan per hari nya hanya bertambah beberapa ribu rupiah, itu pun dengan bantuan bansos seketika dinyatakan tidak miskin lagi, padahal tidak ada yang berubah, tetap saja seseorang ini tidak mampu memenuhi pokok dasar yang harganya semakin tinggi. Padahal kelas menengah yang tidak dinyatakan miskin pun saat ini sedang babak belur demi bertahan hidup. Terlebih lagi jika standar garis kemiskinan dari World Bank terbaru diterapkan, maka separuh dari kelas menengah otomatis bergelar miskin.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brazil, Presiden Indonesia terpilih mengatakan dalam pidatonya akan memprioritaskan penanggulangan kemiskinan dan kelaparan di Indonesia dengan salah satunya swasembada pangan. Di sisi lain, data BPS menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin ekstrem yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 47.94% dari total penduduk miskin. Padahal sektor pertanian masih menjadi lahan terbesar yang menyerap tenaga kerja, artinya banyaknya yang bekerja di pertanian bukan karena penghasilan yang tinggi melainkan karena sulitnya sektor lain menyerap tenaga kerja. Lalu, bagaimana mungkin negeri ini mau bertumpu pada swasembada pangan untuk mengentaskan kemiskinan jika petaninya saja jauh dari sejahtera. Ini belum fakta tentang harga hasil panen terjun bebas karena keran import dibuka luas oleh Pemerintah, modal tanam tidak kembali, susbsidi dikurangi, harga di pasaran yang didapat konsumen tetap tinggi, Namun petani merugi karena mereka terpaksa tetap menjual dengan harga yang rendah, tengkulak masih saja seperti mafia yang boro boro diberantas, mereka bahkan bisa mengancam untuk tidak membeli lagi dari para petani yang berani menjual langsung hasil panennya sesuai harga pasar. Belum lagi program Food Estate yang gatot, gagal total yang malah menambah kerusakan alam dan berdampak buruk pada sumber mata pencaharian warga dari alam misalnya perkebunan atau hasil hutan yang berada di sekitar proyek.
Pandemi covid masih dijadikan alasan terjadinya kemiskinan, padahal sebelum pandemi pun kemiskinan sudah menjadi masalah ruwet secara global. Seharusnya tidak heran, kemiskinan seperti produk yang dihasilkan dalam sistem kapitalisme sekuler. Seperti sudah menjadi prosedur dalam kapitalisme, bahwa kepemilikan harta memang di atur tidak merata. Databoks di 2018 pernah menyatakan, Di Indonesia 10% populasi menguasai 75,3% kekayaan. Jadi sebanyak kurang dari 25% kekayaan ini harus dibagi oleh 90% populasi. Maka, tidak heran ada istilah miskin ekstrem, miskin biasa, hingga kelas menengah atas dan bawah. Ciri khas dalam Kapitalisme Sekuler, Sumber Daya Alam dan Energi (SDAE) dikuasai oleh pemilik modal, negara hanya menjadi wasit. Hasil pengolahan dan keuntungan SDAE yang seharusnya menjadi kepemilikan bersama, kekayaan melimpah yang seharusnya diratakan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyat secara gratis, seperti pendidikan dari dasar hingga Universitas, lalu untuk pelayanan kesehatan, subsidi BBM, air bersih, listrik, hingga lapangan pekerjaan agar rakyat secara mandiri dapat memenuhi bahan makanan pokok tanpa mengharap bansos. Yang terjadi saat ini, keuntungan SDAE hanya dinikmati oleh segelintir orang kaya, pengusaha, dan investor. Lebih parahnya lagi ketika si pengusaha mulai melirik singgasana penguasa atau sebaliknya. Jelas semakin brutal, sudah keuntungan dari SDAE masuk ke kantong pribadi atau kelompoknya, ditambah memiliki kewenangan untuk membuat regulasi yang tentu akan mendukung kelancaran bisnisnya. Dari sini, dimulai lah lingkaran konflik, dari konflik agraria, perampasan lahan, kerusakan alam, bencana alam, oligarki dan dinasti politik, penggusuran dengan intervensi aparat, rakyat dibebani pajak untuk menopang pemasukan terbesar negara sementara tax amnesty bagi si kaya dengan korporasinya, kesenjangan diberbagai lini kehidupan hingga akhirnya kemiskinan dirasa terstruktur. Data resmi yang disiarkan tidak lebih hanya angka angka yang tidak klik dengan himpitan di kehidupan nyata.
Dalam sistem Islam, seseorang dikatakan sejahtera ketika mampu memenuhi kebutuhan dasar pribadi seperti sandang, pangan, papan dan kebutuhan dasar umum seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Bukan dipatok dari penghasilan dan pengeluaran, tapi langsung pada mampu atau tidaknya. Sistem Islam yang pernah diterapkan dalam bentuk Negara selama 14 abad telah membuktikan bagaimana mengelola ekonomi negara hingga pernah terjadi tidak adanya orang yang layak untuk diberi zakat.
Tugas negara dalam Islam, wajib memenuhi kebutuhan pokok dasar warganya dengan mempermudah laki laki sebagai pencari nafkah mendapat pekerjaan disegala sektor, agar secara mandiri dapat memenuhi kebutuhan dapur keluarganya. Lalu, dengan konsep pembiayaan Baitul Maal, Negara menjamin Akses layanan kesehatan dan mewajibkan rakyatnya bersekolah dari tingkat dasar hingga Universitas secara gratis tanpa membedakan jalur untuk si miskin dan si kaya, muslim atau non muslim. Pelayanan dan fasilitas kesehatan tidak dibedakan berdasarkan kemampuan membayar seperti saat ini, pasien umum atau pasien asuransi kesehatan, semua kalangan mendapat perlakuan serta fasilitas yang sama sesuai tingkat kesakitan.
Islam sangat mengatur tentang kepemilikan umum, pribadi, dan negara. Sektor SDAE yang merupakan kepemilikan umum haram untuk dimiliki oleh pihak swasta. Pengelolaan SDAE harus 100% ditangan negara yang kemudian hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk BBM, gas, listrik, dan kebutuhan publik lainnya secara gratis ataupun semurah murahnya. Jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, baru sisa hasilnya dijual ke luar negeri. Rasulullah sebagai kepala negara pernah mengambil alih tambang garam dari seorang pengusaha swasta, karena garam termasuk SDA yang berlimpah dari laut dan merupakan kepemilikan umum yang seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat, bukan menjadi sarana mengambil keuntungan oleh pemodal swasta. Negara menjamin kepemilikan pribadi, seperti tempat tinggal atau lahan produktif yang sudah bertahun tahun ditinggali dan harta yang dikumpulkan melalui pekerjaan halal ataupun dari perdagangan yang bukan berasal dari SDAE.
Kemudian, Islam melarang kekayaan hanya berpusat pada satu kelompok atau sekian persen populasi saja. Kekayaan harus diratakan, pertama dengan zakat yang dimasukkan ke dalam Baitul Maal. Kedua, negara akan menghidupkan lahan lahan kosong dan memberikan secara gratis bukan menyewakan, kepada orang yang mampu mengelolanya agar menghasilkan komoditas baru dan menjadi lapangan kerja. Ketiga, mengatur tegas terkait harta waris.
Tentu sistem Islam realistis dalam pengentasan kemiskinan, tidak akan ada ruang untuk oligarki mengeroyok kekayaan alam untuk perut buncit mereka sendiri lalu mengontrol kekuasaan sesuai kepentingan mereka. Dalam sistem kufur kapitalisme, kemiskinan dan kebodohan seolah dijaga agar dapat dimanfaatkan saat penguasa membutuhkan suara. Pemberian bansos pun menjadi celah kepentingan bukan dengan tujuan membebaskan dari kemiskinan dan memang bansos merupakan jalan pragmatis sementara, bukan solusi tuntas. Solusi tuntas dari kemiskinan bahkan kekacauan saat ini hanyalah kembali pada sistem Islam. Wallahu a’lam bisawab
Oleh : Ana Fitriani
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru