Share ke media
Opini Publik

Perampasan Ruang Hidup dalam Proyek Food Estate

15 Jan 2024 11:38:12630 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : muslimahnews.net - Food Estate, Perampasan Ruang Berdalih Ketahanan Pangan - 11 Desember 2023

Samarinda - Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) virtual luar biasa, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (UN Food and Agriculture Organization/FAO) mengeluarkan peringatan bahwa pembatasan karantina dapat mengganggu produksi dan rantai distribusi pangan global.

Merespons peringatan FAO tersebut, pada 28 April 2020 Presiden Jokowi mengadakan pertemuan di Istana Negara dan memerintahkan para menteri dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk segera melakukan konversi lahan gambut untuk tujuan produksi beras. Selanjutnya pada bulan September, Presiden Jokowi memanggil para menteri untuk pertemuan lumbung pangan dan mengumumkan bahwa program tersebut diperluas ke sejumlah wilayah. Luas lahan pertanian baru yang diusulkan mencapai 2,3 juta hektar, yakni sekitar empat kali luas pulau Bali. Dasar atas gagasan lumbung pangan ini tegak atas narasi krisis pangan.

Program food estate atau yang dikenal dengan lumbung pangan merupakan kebijakan pemerintah yang memiliki konsep pengembangan pangan secara terintegrasi. Menuju “Indonesia Maju” melalui “Penyediaan Cadangan Pangan” atau Food Estate yang dicanangkan oleh Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemenhan), menjadikan pembangunan Food Estate sebagai salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor 24 tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.

Program ini berada pada sektor pertanian, perkebunan, termasuk peternakan di suatu kawasan. Terdapat sejumlah komoditas yang dikembangkan dari kebijakan ini mencakup, komoditas cabai, padi, singkong, jagung, kacang tanah, hingga kentang. Pada tahap awal program food estate akan dibangun di lima titik di seluruh Indonesia yaitu di Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, NTT, dan Papua. 

Sedangkan penggarap proyek dilakukan oleh lintas kementerian yang meliputi, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian PUPR. Dalam pelaksanaannya, masing-masing wilayah lumbung pangan mengembangkan komoditas yang berbeda-beda.

Meski demikian, tidak sedikit pihak yang mengkritisi proyek food estate ini. Pasalnya, selain minim kajian kelayakan proyek ini justru mengancam tanah adat dan berpotensi mengorbankan mata pencaharian masyarakat lokal. Jauh sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) telah mewanti-wanti perihal dampak buruk program lumbung pangan terutama terhadap kelestarian lingkungan. Selain itu, proyek ini juga disebut akan mempercepat laju deforestasi atau kerusakan lingkungan hidup. Seiring berjalannya waktu, sejumlah kegagalan mewarnai proyek food estate ini. Bahkan, terancam terbengkalai dan menyisakan masalah.

Contohnya dalam proyek lumbung pangan di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Saat awal mula di jalankan proyek ini bisa dikatakan gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektar mangkrak dan 17.000 hektar sawah baru tak kunjung panen. Bahkan proyek lumbung pangan di wilayah ini hanya memicu persoalan baru, bencana banjir kian meluas dan berkepanjangan, serta memaksa masyarakat Dayak mengubah kebiasaan mereka menanam. Sebelum berubah jadi kebun singkong, hutan itu adalah tumpuan penduduk setempat mengambil kayu untuk membangun rumah, berburu hewan, serta mencari ramuan tradisional. Kini, semua itu hilang. Termasuk lahan seluas empat hektar yang secara turun-temurun ditanami sayur-sayuran dan pohon karet oleh masyarakat setempat.

Minimnya riset di awal pelaksanaan food estate telah berdampak pada pengabaian terhadap aspek demografi dan geografi, termasuk distribusi dan akesibilitas terhadap hasil pangan. Alhasil, meski proyek food estate ini berdiri di atas niat mewujudkan ketahanan pangan, tetapi jika minim pertimbangan mengenai seluruh rangkaian kegiatan yang merangkum aktivitas uji kelayakan awal hingga pascapanen—seperti aksesibilitas hingga pendistribusian—maka, pemenuhan kebutuhan pangan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang pangan Indonesia tetap akan sulit terwujud.

Perampasan Ruang, Menguntungkan Korporasi

Kapitalisasi pertanian terlihat jelas pada proyek food estate. Proyek ini direncanakan melalui investasi ataupun pola kemitraan. Yang menyebabkan peluang para korporat bisa mengambil andil dalam peran ketahanan pangan. Model pertanian dengan pelibatan korporasi bisa dipastikan akan diberikannya izin konsesi untuk pengelolaan lahan. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Sementara pengelolaan diserahkan pada korporasi. Baik swasta maupun BUMN.

Mereka tidak mendudukkan petani sebagai aktor utama. Sebaliknya, pemerintah justru mengakomodir keikutsertaan korporasi dan perusahaan agribisnis, mulai dari persiapan produksi (penyediaan benih dan pupuk), pendampingan selama proses produksi, hingga hasil panen. Konsekuensi dari terlibatnya korporasi jelas terlihat pada orientasinya untuk meraup keuntungan.

Sebagaimana proyek ambisius lainnya, proyek food estate ini tidak lepas dari drama sengketa lahan. Alih fungsi lahan tidak terelakkan. Tidak sedikit hutan rakyat yang beralih menjadi food estate. Tentu saja ini mengancam stabilitas lingkungan dan berpotensi memperparah krisis iklim. Sebab korporasi yang berorientasi pada keuntungan seringkali abai terhadap lingkungan. Hal tersebut hanya akan menambah deretan deforestasi yang selama ini telah berlangsung secara massif. Alih-alih mewujudkan ketahanan pangan, realitas ini justru membuktikan adanya perampasan ruang hidup masyarakat dengan dalih ketahanan pangan.

Perspektif Islam

Masalah pangan berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan primer masyarakat. Negaralah yang bertanggung jawab memastikan pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Untuk itu, negara wajib memiliki visi dan misi yang jelas untuk merealisasikan ketahanan pangan yang sesungguhnya. Rasulullah bersabda, “Setiap kalian adalah penggembala dan semua akan ditanya tentang gembalaannya, dan seorang Imam (kepala negara) dia akan ditanya tentang gembalaannya.” (HR Al-Bukhari).

Dalam Islam status tanah di bagi dalam 3 kepemilikan:

1.Tanah yang boleh dimiliki individu. seperti lahan pertanian.

2.Tanah milik umum. Yaitu tanah yang di dalamnya terkandung harta milik umum seperti tanah hutan, tanah yang mengandung tambang yang jumlahnya sangat besar, tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan, rel kereta, dan lain-lain.

3.Tanah milik negara. Diantaranya tanah yang tidak berpemilik (tanah mati), tanah yang diterlantarkan, tanah disekitar fasilitas umum dan lain-lain.

Berdasarkan konsep kepemilikan ini maka tidak diperbolehkan tanah hutan diberikan izin konsesi pada swasta/swasembada. Baik untuk Perkebunan, pertambangan, maupun Kawasan pertanian. Apalagi jika Kawasan hutan tersebut diketahui memiliki fungi ekologis dan hidrologi seperti hutan gambut yang jika dimanfaatkan untuk aktivitas ekonomi bisa menimbulkan mudharat yang luas bagi masyarakat.

Hanya saja, implementasi konsep ini harus sejalan dengan aturan-aturan Islam lainnya, baik bidang politik, ekonomi, keuangan, pendidikan, dsb. Tidak mungkin dijalankan kecuali oleh institusi yang akan melaksanakan syariat Islam secara kaffah dan sungguh-sungguh dalam me-ri’ayah urusan umat. 

Wallaahu a’lam bi ash shawab.

Oleh : Rosyidah, SH. (Aktivis Muslimah)