Share ke media
Opini Publik

Peringkat PISA Naik, Benarkah Menjadi Tanda Keberhasilan Pendidikan?

16 Dec 2023 01:08:362048 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : kompas.id - Pisahkan PISA - 11 Desember 2023

Samarinda - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merilis hasil studi PISA 2022, yang menunjukkan peringkat hasil belajar literasi Indonesia naik 5 sampai 6 posisi dibanding PISA 2018. Peningkatan ini merupakan capaian paling tinggi secara peringkat (persentil) sepanjang sejarah Indonesia mengikuti PISA. Mendikbudristek, Nadiem Makarim menyampaikan, “untuk literasi membaca, peringkat Indonesia di PISA 2022 naik 5 posisi dibanding sebelumnya. Untuk literasi matematika, peringkat Indonesia di PISA 2022 juga naik 5 posisi, sedangkan untuk literasi sains naik 6 posisi.” (Kemdikbud.go.id, 05/12/2023)

Peningkatan posisi Indonesia pada PISA 2022 dianggap sebagai bentuk ketangguhan sistem pendidikan Indonesia di masa pandemi covid19. Peserta didik dinilai berhasil mempertahankan kualitas hasil pembelajaran dalam nilai PISA mereka. Kenaikan ranking ini diklaim sebagai keberhasilan penanganan pandemi. Diantaranya bantuan kuota untuk guru dan murid, pelatihan secara daring dan hybrid, serta pemberlakuan kurikulum darurat selama pandemi.

Klaim keberhasilan ini sebenarnya cukup membingungkan karena meskipun ranking naik, skor PISA 2022 Indonesia mengalami penurunan 12 poin menjadi 359 dari tahun 2018 dengan skor 371. Penurunan dianggap karena merebaknya pandemi COVID-19 sehingga menyebabkan learning loss. Kemampuan literasi dan numerasi selama 20 tahun terakhir juga terbilang stagnan, padahal target skor PISA Indonesia terus ditingkatkan. (Antaranews.com, 07/12/2023)

Skor PISA anak Indonesia memang kerap berada di urutan hampir paling bawah. Sejak 20 tahun terakhir dianggap terjadi krisis pembelajaran yang memerlukan perbaikan. Akhirnya ditetapkanlah Kebijakan Merdeka Belajar dengan harapan dapat membawa perubahan baik dalam pendidikan di Indonesia. Sebelumnya, sudah terjadi perubahan kurikulum yaitu perubahan kurikulum 2004 yang fokus pada kurikulum berbasis kompetensi (KBK), Perubahan kurikulum pada 2006 yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan Kurikulum 2013, yakni pendekatan pembelajaran ditekankan kepada kompetensi siswa sesuai dengan amanat yang disampaikan dalam PISA.

Mengapa PISA seolah menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan negara? Tidak hanya Indonesia, beberapa negara lain menjadikan hasil PISA sebagai referensi pembentukan kebijakan pendidikan. Tes PISA adalah penilaian internasional yang diselenggarakan oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Setiap tiga tahun tes PISA dilakukan mengukur literasi membaca, matematika, dan sains pada murid berusia 15 tahun.Tahun 2022, PISA diikuti oleh 81 negara, yang terdiri dari 37 negara OECD dan 44 negara mitra. Indonesia sebenarnya bukan negara anggota OECD, tetapi turut berpartisipasi dalam tes PISA sejak 2000.

Negara-negara OECD terdiri dari negara yang memainkan peran ekonomi penting di kancah global. Mereka memerlukan data terkait tenaga kerja mumpuni di pasar dunia, maka dirumuskanlah tes PISA sebagai standardisasi pendidikan. Jadi, PISA adalah salah satu upaya negara-negara OECD untuk menyelaraskan kualitas pendidikan di seluruh dunia agar sesuai kebutuhan ekonomi di masa mendatang. Negara yang berperingkat rendah didorong untuk melakukan perubahan sistem pendidikan.

Tak ada yang memungkiri pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Pendidikan diharap mampu mengembalikan tugas dan fungsi utama manusia, yaitu sebagai hamba Allah dan pengelola di muka bumi. Namun realitanya tak demikian. Keberhasilan pendidikan saat ini hanya diukur dari capaian angka akademik dan materi saja. Tak peduli capaian untuk pendidikan secara hakiki menghasilkan manusia bertakwa dan pemimpin pelanjut peradaban.

Kita seolah tutup mata dengan fakta kian rusaknya generasi muda saat ini. Mulai kasus narkoba, perundungan, penganiayaan, hamil di luar nikah, aborsi, hingga pembunuhan dan mutilasi. Dekadensi moral seperti ini merupakan tanda gagalnya sistem pendidikan yang diterapkan. Belum lagi fakta remaja masa kini yang mudah tersulut emosi, rendah adab, dan minim akhlak. Sampai kapan kita sibuk dengan standar pendidikan sekuler. Lupa dengan aspek penting lain dalam pendidikan, yaitu pembentukan kepribadian.

Bagaimana standardisasi pendidikan seharusnya?

Islam memiliki asas dan tujuan pendidikan yang jelas. Pendidikan dalam Islam memadukan keimanan dengan ilmu kehidupan sehingga berpengaruh besar dalam setiap amal perbuatan. Telah terbukti selama belasan abad sistem pendidikan Islam unggul dan gemilang. Para ilmuwan muslim dan karya hebatnya dapat kita rasakan kebermanfaatannya hingga kini. Mereka menjadi peletak dasar keilmuan yang terus berkembang hingga sekarang. Contohnya Al Khawarizmi, seorang ahli matematika yang merumuskan hitungan matematika jauh lebih mudah dengan angka nol. Kala itu Peradaban Romawi masih menggunakan angka romawi yang susah dipelajari. Kemudian Jabir Ibnu Hayyan, rumusan beliau menjadi dasar bagi ilmuwan Barat di bidang kimia. Bapak kedokteran dunia, Ibnu Sina atau dikenal Avicenna, Ibnu Rusyd, Al-Farabi, dan lainnya menjadi bukti bahwa ulama pada masa peradaban Islam tidak melulu lihai dalam ilmu agama, namun juga menguasai ilmu umum, sains dan teknologi.

Visi pendidikan Islam juga jelas, yakni mencetak generasi berpola pikir dan berpola sikap Islam. Berbeda dengab sistem pendidikan sekuler yang mengukur keberhasilan pendidikan hanya dari standar angka dan kebutuhan global. Maka tak selayaknya kebijakan pendidikan selalu mengacu pada hasil tes semacam itu. Hanya sistem pendidikan Islam yang mampu menghasilkan generasi cemerlang yang tak hanya cerdas akalnya, tapi juga beriman dan berakhlak mulia. 

Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: Zakiyatul Fakhiroh, S.Pd (Pendidik Generasi)