Share ke media
Opini Publik

Polemik Sertifikasi Halal Ala Kapitalisme

16 Oct 2024 11:26:0443 Dibaca
No Photo

Samarinda - Ramai perbincangan soal sertifikasi halal pada produk-produk yang namanya menunjukkan sesuatu yang tidak halal. Status halal produk memang menjadi salah satu hal yang sangat penting di Indonesia sebagaimana negara yang mayoritas penduduknya muslim.

Dilansir, Beritasatu. Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ketua Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mengungkapkan temuan mengejutkan terkait dengan nama-nama produk pangan seperti tuyul, tuak, beer dan wine yang telah mendapatkan sertifikat halal. Menurutnya hasil investigasi MUI memvalidasi bahwa produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare, pada hari Selasa. (1/10/2024).

Merespon temuan tersebut, polemik ini mendapat tanggapan dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (kemenag RI) menegaskan adalah terkait hanya nama produk yang digunakan. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Selamet Baharuddin mengatakan produk tersebut telah melalui proses sertifikat halal dan mendapatkan ketetapan halal sesuai mekanisme yang berlaku. (HarapanMedia)

Mirisnya, sertifikasi halal pada nama suatu produk yang menunjukkan sebutan suatu yang tidak halal dianggap aman dan tidak menjadi masalah karena zatnya halal. Disamping adanya model self declare yang merupakan klaim halal dari perusahaan itu sendiri yang berlaku seumur hidup.

Sertifikasi halal yang seharusnya merupakan layanan negara untuk melindungi rakyatnya atas kewajiban yang ditetapkan oleh syariat. Namun lagi-lagi dalam sistem saat ini (sekuler kapitalis) nama tidak menjadi asas halal suatu produk, asal kandungan dzatnya halal.

Padahal ini berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan, karena persoalannya adalah halal haramnya suatu benda, yang dalam Islam merupakan persoalan prinsip.

Negara yang berasaskan sekuler kapitalis yakni pemisahan agama dari kehidupan menjadikan paradigma sekuler abai akan penjagaan akidah rakyatnya khususnya terhadap umat Islam. Jangankan penamaan yang menyamakan suatu produk halal dan haram hingga hari ini saja masih membiarkan produk-produk haram yang masih beredar di pasaran.

Jika halal haram dipandang dengan pertimbangan teori dagang tentu bisa mengganggu substansi dari halal itu sendiri. Akan berpeluang menabrak konsep halal thayyib dalam ajaran Islam. Inilah model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Sistem ini berbeda dengan sistem Islam.

Dalam Islam memiliki aturan tentang benda atau zat, yang ada halal dan ada yang haram. Negara islam wajib menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia, karena negara adalah pelindung agama rakyat.

Sertifikasi halal adalah salah satu layanan yang diberikan oleh negara, dengan biaya murah bahkan gratis.  Negara memastikan kehalalan dan kethayyiban setiap benda atau makanan dan minuman yang akan dikonsumsi manusia.

Negara berperan sebagai penjaga dan pelindung umat sehingga menjamin kehalalan suatu produk makanan yang beredar. Kehalalan semua produk yang dikonsumsi warga negara merupakan tanggung jawab negara yang didorong ketaatan kepada Allah SWT.

Akidah Islam yang menjadi dasar utama negara dan menjadikan semua urusan diatur dengan syariat Islam, Negara tidak hanya bertindak sebagai pengawas, tetapi juga menyiapkan anggaran dana sebagai upaya menjamin produk halal di masyarakat.

Jaminan kehalalan produk akan ditentukan dari awal. Mulai proses penyediaan atau pembuatan bahan, proses produksi, hingga distribusi akan senantiasa diawasi. Semua itu dikerjakan dengan juga melibatkan peran ahli dan ulama, dalam mengontrol dan mengawasi agar semua produk yang dikonsumsi terjamin kehalalannya. Islam wajib mensterilkan bahan haram dari pasar agar tidak membuat masyarakat bingung dalam membedakan yang halal dan haram.

Islam juga menempatkan seorang qadhi atau hakim untuk melakukan patroli setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase.

Jika di dapati melakukan kecurangan akan diberlakukan sanksi tegas sesuai syariah yakni melalui ta’zir (sanksi yang ditetapkan oleh penguasa). Setiap rakyat boleh mengadukan perkara kepada Mahkamah Mazholim jika ada penguasa yang memperbolehkan produk haram dijual bebas.

Bagi warga non muslim, mereka tetap diperbolehkan untuk mengkonsumsi makanan atau minuman menurut kebiasaan mereka. Negara tidak akan melarangnya selama mereka melakukannya dalam ranah lingkungan mereka sendiri. Namun, apabila ada pedagang non muslim yang menjual bahan pangan haram secara bebas di pasar, akan ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku dalam Islam.

Inilah upaya yang dilakukan oleh pemimpin dalam Islam memberikan jaminan hakiki kehalalan dari suatu produk dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah dan melindungi serta mengurus rakyatnya. Dengan begini, tentu masyarakat muslim akan merasa tenang dalam mengkonsumsi bahan pangan yang beredar karena telah terjamin status kehalalannya.

Dengan demikian penerapan aturan Islam secara sempurna dalam kehidupan bernegara akan mampu membuat rasa tenang di dalam jiwa seluruh rakyat sebab umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam oleh negara.

Wallahu Alam Bish-Shawab.

Oleh : Andika Ramadani (Aktivis Muslimah)