Share ke media
Opini Publik

Pornografi anak makin merebak, Sekulerisme biang perusak.

05 Dec 2024 02:48:2582 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : kompas.id - Anak-anak Itu Menjadi Korban Konten Pornografi - 30 Juli 2018

Indonesia masuk peringkat keempat sebagai negara dengan kasus pornografi anak terbanyak. Data tersebut diungkap oleh National center for missing exploited children (NCMEC). Korbannya tidak tanggung-tanggung, yakni dari disabilitas, anak-anak SD, SMP, dan SMA, bahkan PAUD.

“Temuan konten kasus pornografi anak Indonesia selama empat tahun sebanyak 5.566.015 kasus. Indonesia masuk peringkat keempat secara internasional dan peringkat kedua dalam regional ASEAN,” ujar Hadi Tjahjanto sebagai Menko polhukam di era Presiden Jokowi.

Tak hanya itu, baru-baru ini telah terungkap pula kasus pornografi anak serta penyebarannya melalui aplikasi telegram. Tersangkanya adalah MS, S, dan SHP. Masing-masing dari mereka memiliki peran masing-masing. MS, selain menjadi penjual konten video pornografi yang berisikan adegan asusila anak di bawah umur, juga mengunduh video konten asusila melalui berbagai sumber di internet, kemudian menjualnya kembali di grup telegram yang dikelola S dengan mematok harga mulai dari Rp50.000 hingga Rp250.000.

MS pula yang berperan sebagai orang yang mengeksploitasi anak dengan cara membuat, sebagai pemeran sekaligus menjadi penjual konten video asusila anak di bawah umur. Tersangka lainnya yakni SHP berperan mencari bakat anak di bawah umur di lingkungan pertemanan sebayanya untuk ditawarkan membuat konten video asusila bersama.

Atas perbuatannya, tersangka MS, S, dan SHP dijerat Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 52 Ayat 1 UU 1/2024 tentang perubahan kedua atas UU 11/2008 tentang ITE dengan ancaman 20 tahun penjara.

Bareskrim Polri juga menangkap sebanyak 58 tersangka terkait kasus tindak pidana pornografi anak. Penangkapan ini berlangsung selama kurun waktu enam bulan. Pengungkapan kasus pornografi daring anak ini dimulai sejak Mei sampai November 2024, dengan hasil 47 kasus dan 58 tersangka.

Dengan begitu banyaknya kasus yang terjadi, seharusnya menjadi bahan renungan untuk kita. Bagaimana mungkin anak-anak yang seharusnya disibukkan dengan menuntut ilmu dan mempersiapkan bekal hidup untuk menggapai cita-cita, justru berbalik menjadi “pembisnis” konten syahwat? Akan seperti apa nasib generasi kita di masa depan?

Akal mereka bahkan belum mampu mencerna apa yang mereka lihat. Baru saja akal itu sedang dalam proses perkembangannya, malah dirusak oleh konten pornografi. Naudzubillah. Sungguh miris.

Mengapa semua ini bisa terjadi? Apakah karena sistem aturan sanksi yang tak menjerakan? Atau kurang gencarnya edukasi di sistem pendidikan? Mengapa kasus semacam ini terus berulang bahkan semakin besar?

Siapapun harus mengakui bahwa anak-anak saat ini tumbuh dalam lingkungan yang tidak ideal. Sekeras apapun orang tua membuat proteksi, gaya hidup yang mendewa-dewakan syahwat tetap ada dan selalu hadir di sekeliling kita.

Kondisi ini tidak lepas dari prinsip hidup sekuler yang mengadopsi nilai-nilai kebebasan, salah satunya kebebasan berperilaku. Individu dalam sistem sekuler ini meletakkan segala sesuatunya menurut standar dunia yang sifatnya sesaat.

Dalam sistem ini, prinsip-prinsip ketuhanan bukannya tidak diakui. Hanya saja, prinsip tersebut hanya hadir sekadar dalam ibadah ritual saja. Secara langsung, sistem ini berkontribusi besar mengikis keimanan seseorang dalam mengarungi kehidupan. Bahkan, keimanan tidak menjadi kontrol dalam kehidupan secara utuh.

Sekulerisme melahirkan manusia-manusia yang menjadikan materi sebagai tujuan hidup. Gelimang materi adalah standar hakiki kebahagiaan. Halal haram bukan timbangan. Atas dasar ini, wajar jika seruan moral selalu mental meski selalu disuarakan ketika kasus amoral terjadi. Masyarakat tetap saja bebas mengakses pornografi, bebas menggunakan aplikasi kencan, juga bebas melakukan apapun untuk memuaskan syahwat.

Di sisi lain, sekularisme negara juga menciptakan sistem hukum yang menjamin prinsip kebebasan bagi individu. Negara beranggapan bahwa perannya semata memastikan bahwa setiap individu memperoleh kebebasan sebagaimana yang dijamin dalam demokrasi yakni bebas berpendapat, bebas berperilaku/berekspresi, bebas untuk memiliki sesuatu hingga bebas untuk menentukan agama yang dianutnya.

Sekilas dengan jaminan ini terlihat seakan manusia bisa hidup tenang dan bahagia. Nyatanya, jaminan kebebasan ini justru menimbulkan banyak masalah di masyarakat. Bahkan tanpa sadar, jaminan inilah yang justru memandulkan peran negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyatnya. Menjadi pelindung, arti semestinya adalah menciptakan sistem hukum yang bersifat preventif, sekaligus menerapkan sistem hukum yang mampu membuat jera para pelaku.

Namun, negara seolah-olah setengah hati melindungi rakyat. Di satu sisi negara memastikan jaminan kebebasan bagi individu, di sisi lainnya negara mengabaikan jaminan hak hidup anak yang layak menikmati sistem sosial yang sehat serta jauh dari virus syahwat yang merusak masa depan.

Berbeda dengan sekulerisme, Islam menjamin hak hidup manusia melalui terwujudnya tujuan-tujuan penerapan syariat yakni memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Melalui jaminan pemeliharaan ini, negara melaksakan perannya dalam melindungi dan menyelamatkan generasi dari paparan pornografi.

Islam memberikan jaminan pemeliharaan akal kepada anak-anak agar mereka tumbuh dan memahami fitrah mereka sebagaimana layaknya manusia. Islam menggariskan sejumlah aturan umum yang secara langsung berperan dalam menjaga kebersihan dan sehatnya sistem sosial di masyarakat antara lain sebagai berikut.

Pertama, aturan Islam yang meliputi aturan pergaulan seperti menutup aurat laki-laki dan perempuan, menjaga pandangan juga memerintahkan untuk menjaga interaksi dengan lawan jenis dalam kehidupan sosial.

Di sisi lain, dalam upaya membentuk karakter Islam dan individu yang bertakwa, Islam menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang akan menguatkan keimanan juga berperan sebagai alarm agar manusia terus berupaya menjauhi perbuatan maksiat. Ini akan sangat dibutuhkan sebagai proteksi bagi siapapun untuk menjauh dari godaan untuk mengakses konten pornografi.

Kedua, membenahi media agar tetap berjalan sesuai prinsip-prinsip syariat. Keimanan yang mampu mewujudkan proteksi pada setiap individu tentu membutuhkan dukungan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh sebab itu, dalam negara Islam, keberadaan media sebagai salah satu bagian yang tidak lepas dalam kehidupan masyarakat harus tegak atas prinsip-prinsip media ala Islam yang bebas dari konten asusila, baik secara langsung maupun sekadar visual, syair, candaan, atau sejenisnya. Negara harus memahami bahwa saat ini media sosial sudah menjadi referensi masyarakat dalam membentuk realitas sosial. Negara pun semestinya memastikan media sosial bersih dari konten pornografi sekecil apapun.

Ketiga, negara Islam akan membangun sistem keamanan digital sebagai upaya negara untuk memberikan jaminan perlindungan dan menjauhkan generasi dari pemikiran konten rusak dan merusak. Sistem keamanan ini tidak akan memberi celah sedikit pun bagi individu untuk memproduksi dan menyebarkan konten-konten negatif yang akan mengganggu stabilitas sosial masyarakat.

Keempat, negara akan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku. Hal ini bertujuan agar kasus serupa tidak terulang. Kasus pornografi terkategori kasus takzir dalam syariat Islam. Kepala negara memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Jenis hukuman bisa dalam bentuk pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai hasil ijtihad Kepala Negara. Jika kasus pornografi ini berkaitan dengan kasus perzinaan, akan ditegakkan had zina sebagai sanksi bagi para pelaku. Bagi pelaku yang belum pernah menikah (ghairu muhsan), sanksinya adalah 100 kali cambuk, sedangkan yang sudah pernah menikah (muhsan) sanksinya berupa hukuman rajam. Anak-anak yang terlibat dalam kasus ini akan diselidiki sudah memasuki usia baligh atau belum. Ini bertujuan untuk mengkaji kondisi seseorang yang sudah terbebani hukum (mukallaf) atau tidak.

Kelima, agar generasi memahami fase usia yang mereka lalui (dari masa kanak-kanak, mumayyiz, prabaligh, hingga baligh) dengan konsekuensinya masing-masing, penting bagi negara untuk menyelenggarakan pendidikan Islam yang bertujuan untuk membentuk berkepribadian Islam pada generasi. Pendidikan memiliki peran yang sangat vital untuk menempa kepribadian para generasi. Dengan sistem pendidikan yang fokus memahat kepribadian Islam yang kukuh, negara wajib mewujudkan generasi bertakwa yang mumpuni dalam ilmu, sekaligus besar ketakutannya kepada Sang Khalik.

Inilah mekanisme Islam dalam melindungi generasi dari paparan pornografi. Dengan demikian, jelas bahwa hanya Islam kafah yang memiliki konsep jelas dalam melindungi genenrasi sekaligus menjamin hak hidup mereka dalam sistem sosial yang sehat, bebas dari konten negatif yang membajak produktivitas di usia muda.

Oleh : Almukarromah, S.Kom