Samarinda - Kenaikan pajak 12% memang masih hangat untuk diperbincangkan, keresahan dan protes masyarakat juga terus dilakukan kepada pejabat pemerintahan. Di Kalimantan Timur sendiri tepatnya di Samarinda, puluhan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) juga menggelar aksi terhadap kenaikan pajak ini. Ketua Umum HMI Cabang Samarinda, Syahril Saili, menyampaikan bahwa aksi ini merupakan wujud kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat kecil. Ia juga menambahkan, aksi ini merupakan refleksi atas pelanggaran-pelanggaran pemerintah terhadap kepentingan rakyat selama tahun 2024.
Pemerintah mengatakan bahwa kebijakan pajak 12% hanya untuk barang mewah dan pemerintah akan memberikan subsidi pada beberapa kebutuhan pokok, seperti listrik. Faktanya, kebijakan pajak tidak luput dari barang kebutuhan masyarakat, seperti beras, sabun, deterjen, pulsa, dan lainnya. Selain itu, subsidi sifatnya sementara, sedangkan kenaikan pajaknya tentu bersifat jangka panjang.
Penguasa melalui menterinya juga menyampaikan bahwa PPN kita masih jauh di bawah negara lain yang sampai 15%. Nyatanya, besaran PPN Indonesia menjadi tertinggi di negara-negara ASEAN dengan tingkat ekonomi yang tidak lebih baik jika dibandingkan dengan negara tetangga (Singapura) yang hanya menetapkan pajak PPN 8%.
Kebijakan pajak merupakan konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi yang berasaskan materialistik menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan utama yang diandalkan dan menjadi tumpuan negara. Pada saat APBN terus defisit dan utang makin bertambah, biaya operasional negara yang bengkak karena struktur yang gemuk dan tidak efisien menjadikan jalan satu-satunya yang dipandang bisa mendatangkan dana adalah pajak atau pungutan wajib yang ditarik dari uang rakyat.
Padahal kita memiliki SDA yang melimpah , seperti kekayaan tambang, hutan, hasil laut yang jumlahnya menduduki peringkat dunia. Siapa yang menikmati kekayaan alam Indonesia? Jika kekayaan alam yang dimiliki Indonesia tidak menjadi pos terbesar penerimaan negara, wajar jika rakyat akan terus-menerus ditekan untuk meningkatkan pendapatan negara.
Dalam Islam ada ketentuan bahwa setiap pungutan apa pun kepada rakyat harus legal, dalam artian pungutan ini harus benar-benar diizinkan oleh syariat dan berdasarkan kepada dalil. Negara yang menjadi wakil pelaksanaan syariat Islam secara ketat mendapatkan amanah untuk mengelola semua kekayaan alam yang dimiliki dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat sesuai rambu-rambu syariat. Artinya, mulai dari sumber-sumber pendapatan, termasuk jenis pengeluarannya harus bersandar kepada dalil syarak. Penguasa dianggap melanggar syariat jika melakukan pungutan yang tidak sesuai.
Pengaturan Islam berkaitan dengan pos - pos penerimaan negara telah ditetapkan secara terperinci. Dalam kitab Al-Amwal karya Syekh Abdul Qadim Zallum dijelaskan bahwa di antara pos penerimaan negara adalah pos anfal, ganimah, fai, dan khumus; kharaj, jizyah; harta kepemilikan umum; harta milik negara; harta usyur; harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara; khumus, harta orang yang tidak memiliki harta waris, harta orang murtad, pajak, dan zakat. Secara keseluruhan terdapat dua belas pos penerimaan negara dan pajak tidak menjadi komponen utama apalagi andalan.
Sistem ekonomi syariah (Islam) mewajibkan penguasa (khalifah) bertanggung jawab atas pengelolaan urusan rakyatnya dengan melaksanakan syariat pada seluruh aspek kehidupan manusia. Syarak mewajibkan penguasa untuk memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi rakyatnya berupa terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan, serta jaminan pemenuhan kebutuhan masyarakat berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan dengan sumber dana dari pengelolaan kepemilikan umum (seluruh SDA).
APBN Khilafah memiliki struktur pemasukan dan pengeluaran harta berdasarkan pada pengaturan syariat. Tidak ada pemasukan ataupun pengeluaran satu sen pun tanpa adanya izin syariat. Sedangkan pajak dalam sistem ekonomi Islam adalah pemasukan yang menjadi pilihan terakhir negara dan hanya berlaku pada orang-orang kaya. Sifatnya juga tidak permanen dan hanya saat dibutuhkan dikarenakan kekosongan keuangan negara.
Selain itu, negara juga berkewajiban mengelola kepemilikan umum (seluruh SDA, air, padang, dan tambang) sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan adil tanpa membedakan suku, ras, dan agama. Dengan diterapkannya sistem ekonomi Islam dan kepemimpinan Islam, akan terwujudlah kesejahteraan dan keberkahan hidup menjadi rahmatan lil alamin.
Rasulullah saw. bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepadanya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Oleh : Almukarromah, S.Kom
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru