Share ke media
Opini Publik

Raja Ampat: Surga yang Dikorbankan atas Nama Pembangunan

13 Jun 2025 06:54:5019 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : marhaenist.id - Save Raja Ampat? Gugat Kolonialisme Ekologis, Kembalikan Kedaulatan ke Tanah Papua! - 8 Juni 2025

Samarinda - “Zamrud Khatulistiwa,” sebutan indah bagi Indonesia karena kekayaan alamnya yang melimpah, kini perlahan tercemar oleh kerakusan manusia. Di balik janji kesejahteraan dari tambang nikel, tersimpan bencana ekologis dan sosial yang mulai menggerogoti tanah air. Hutan-hutan tropis ditebang, sungai-sungai tercemar limbah, dan masyarakat adat terusir dari tanah leluhurnya demi kepentingan industri tambang. Ironisnya, kekayaan alam yang seharusnya menjadi berkah justru berubah menjadi ancaman bagi keberlanjutan lingkungan dan kehidupan generasi mendatang.

Greenpeace melaporkan bahwa hutan hujan di Raja Ampat seluas lebih dari 500 ha telah dibabat untuk tambang nikel di pulau seperti Gag, Kawe, dan Manuran. Lumpur pertambangan juga mencemari terumbu karang dan ekosistem laut yang rapuh (theaustralian.com.au)

Ancaman terhadap ekowisata dan masyarakat lokal Ekowisata, yang menjadi sumber penghasilan masyarakat adat, kini terancam. Nelayan dan pengelola homestay khawatir karena turunnya kualitas air dan terganggunya ekosistem—padahal kelestarian menjadi modal utama mereka .

Kurangnya pengelolaan limbah dan polusi wisata, persoalan sampah plastik, limbah rumah tangga dan jangkar kapal dari aktivitas wisata masih kerap terjadi karena minimnya infrastruktur pengelolaan limbah di pulau-pulau tersebut (kkprajaampat.com)

Raja Ampat itu aset luar biasa, tapi kenapa dirusak demi tambang? Raja Ampat dikenal dunia karena lautnya yang cantik dan terumbu karangnya yang kaya. Tapi sekarang, malah banyak kawasan yang dijadikan lokasi pertambangan, terutama nikel. Padahal, sekali rusak, alam tidak bisa langsung pulih. Yang aneh, demi alasan “pembangunan,” pemerintah malah kasih izin, seolah-olah tambang lebih penting dari lingkungan dan masyarakat yang tinggal di sana.

Banyak warga lokal yang hidup dari laut dan wisata, tapi suara mereka tidak dianggap penting saat proyek besar masuk. Mereka tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam perencanaan. Akhirnya, yang kaya makin kaya, sementara warga sekitar justru kehilangan sumber penghidupan. Ini jelas tidak adil dan menunjukkan betapa timpangnya kekuasaan antara masyarakat kecil dan para pemodal besar.

Wisata juga bukan solusi kalau cuma jadi ajang bisnis tanpa arah. Sekilas, pariwisata kelihatan lebih ramah lingkungan dibanding tambang. Tapi kenyataannya, tanpa aturan ketat, wisata juga bisa merusak. Banyak kasus limbah dari homestay, kapal wisata yang merusak karang, atau sampah plastik yang dibuang sembarangan. Jadi, kalau pariwisata hanya dilihat sebagai peluang bisnis dan bukan bagian dari upaya pelestarian, yang ujung-ujungnya tetap merusak.

Dalam sistem sekarang, pemerintah sering cuma berperan sebagai pengatur di atas kertas, bukan pelindung rakyat dan alam. Izin-izin proyek besar keluar dengan cepat, tapi pengawasan lemah. Ini jadi bukti bahwa orientasi pembangunan kita lebih ke arah ekonomi sesaat, bukan kesejahteraan jangka panjang.

Selama sistem yang kita pakai adalah sistem kapitalisme—di mana semua diukur pakai untung-rugi—maka alam dan rakyat kecil akan terus jadi korban. Sumber daya alam diperas, rakyat dibiarkan bertahan sendiri, dan negara sibuk melayani investor. Islam sebenarnya punya cara pandang yang berbeda, di mana negara wajib hadir mengurus rakyat, menjaga amanah alam, dan memastikan keadilan, bukan cuma jadi fasilitator bisnis. 

Negara adalah pemimpin (ra’in) pelindung alam dan rakyat. Menurut prinsip Islam, negara (khalifah) harus menjadi pengelola amanah — bukan hanya regulator, tapi pelaksana langsung dalam konservasi laut, pemberdayaan masyarakat, dan pelarangan tambang di wilayah rawan ekologis seperti Raja Ampat (wsj.com).

Ekowisata syariah berarti mengedepankan prinsip keberlanjutan, keadilan, dan kesejahteraan bersama (maslahah). Negara dan pelaku wisata perlu berkolaborasi: memberikan subsidi syariah untuk homestay lokal, regulasi limbah sesuai kaidah halal–thayyib, dan menjaga kesucian alam sebagai amanah generasi mendatang.

Dengan jalan ini, Raja Ampat bukan hanya dijaga sebagai ‘paradise for tourism’, tapi juga dijadikan model pengelolaan berkelanjutan berdasarkan keteladanan Islam — untuk manusia, alam, dan generasi mendatang. Wallahu’alam bissawab

Oleh : lina

Terkini