Share ke media
Opini Publik

Raya dan Cacing Gelang : Bukan Tragedi Medis Semata Melainkan Tragedi Tersistematis

06 Sep 2025 11:54:479 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : maklumat.id - Kemenkes Klarifikasi Penyebab Kematian Balita Sukabumi, Raya Meninggal Bukan Akibat Cacing Gelang - 26 Agustus 2025

Samarinda - Belakangan ini mendadak banyak orang yang datang ke apotek dan toko obat untuk membeli obat cacing. Apakah akhirnya masyarakat kita sadar pentingnya eradikasi parasit seperti cacing? Ternyata tidak juga, aksi ini dikarenakan viralnya kasus balita bernama Raya yang meninggal di Sukabumi setelah ada satu kilo cacing gelang dikeluarkan dari tubuhnya. 

Kondisi medis Raya memang memilukan, Rekaman CT scan yang dibagikan lembaga sosial Rumah Teduh memperlihatkan bagaimana parasit menyerang organ dalam tubuh Raya hingga membuatnya lemah tak berdaya. Saat menjalani perawatan di RSUD R.Syamsudin,SH Kota Sukabumi, keluarganya menyaksikan langsung seekor cacing sepanjang 15 sentimeter keluar dari hidung Raya. Kondisi ini menjadi bukti betapa parahnya infeksi yang ia derita. Pihak rumah sakit menjelaskan bahwa infeksi cacing gelang tersebut sudah menyebar ke organ vital, termasuk saluran pernapasan hingga otak. Selain itu, Raya juga diduga mengalami komplikasi tuberkulosis meningitis yang semakin memperburuk keadaannya. Pada 13 Juli 2025, Raya dievakuasi Rumah Teduh ke rumah sakit. Namun harapan untuk sembuh terhambat oleh persoalan administrasi. Identitas yang tidak jelas, ketiadaan kartu keluarga dan BPJS, membuat perawatan medis menjadi rumit. Pihak rumah sakit memberi tenggat waktu tiga kali 24 jam untuk melengkapi dokumen, tetapi hingga batas waktu habis, berkas tersebut tak kunjung selesai. Alhasil, biaya perawatan berubah menjadi beban mandiri. Dalam sembilan hari, tagihan rumah sakit membengkak hingga puluhan juta rupiah, angka yang mustahil ditanggung keluarga miskin seperti mereka. Pada 22 Juli 2025, nyawa Raya tak lagi tertolong. (Berita Satu. 20/08/2025).

Kasus Raya ini bukan hanya tentang tragedi medis, melainkan gagalnya negara dalam perlindungan kesehatan anak. Raya lahir dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi dan mental. Orang tuanya, Rizaludin dan Endah, hidup dalam kondisi serba kekurangan. Rumah mereka sempat hancur sebelum akhirnya diperbaiki oleh warga sekitar. Keterbatasan ini membuat pengasuhan terhadap Raya tidak maksimal. Sehari-hari, ia sering bermain di kolong rumah panggung yang kotor dan dipenuhi kotoran ayam. Dari sanalah, penyakit perlahan masuk ke tubuh mungilnya. 

Kasus ini menjadi trending di berbagai platform media sosial, semua merasa prihatin dan sedih. Namun, sayangnya sebagian memandang ini hanya masalah medis semata, bukan hasil kebobrokan sistem, dilihat dari reaksi banyak orang yang mencari obat cacing. Tentu menjadi pelajaran yang positif jika dari kasus ini bisa membangkitkan kesadaran tentang eradikasi cacing dengan meminum obat cacing dalam 6 bulan sekali. Namun, seharusnya kasus ini juga membuka mata dan pikiran kita betapa rusaknya sistem kapitalisme yang saat ini kita jalani. 

Dalam sistem kapitalisme, kesehatan semacam salah satu komoditas dagangan untuk mencari keuntungan, pasarnya tentu saja rakyat. Akses layanan kesehatan dibedakan berdasarkan kelas ekonomi, yang mampu bayar akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik, pengguna asuransi wajib dari pemerintah seperti BPJS yang setiap bulan membayar pun mendapatkan layanan kesehatan yang terbatas, kerap kali pasien BPJS lebih memilih untuk menjadi pasien umum dan membayar lagi sendiri karena ingin jalur pelayanan yang lebih baik, seperti menghindari prosedur pengobatan yang berbelit, menghindari antrian khusus pengguna asuransi yang panjang dari pagi hingga sore hari, atau ketidakpuasan atas pelayanan fasilitas kesehatan yang ditunjuk atau layanan tenaga kesehatan yang dibatasi oleh standar asuransi. 

Kasus Raya ini memberikan fakta solid bahwa memang tidak semua mampu mengakses layanan kesehatan, padahal jelas dari keluarga tidak mampu yang seharusnya kesehatannya dalam tanggungan negara sesuai UUD. Bahkan Ibu Raya yang sudah lama menderita gangguan jiwa tidak bisa berobat karena tidak punya dana. Bukankah ini artinya negara gagal melindungi warganya dan menandakan adanya pengabaian sejak lama dari penguasa, dibiarkan hidup sulit dan dalam kondisi tidak layak. Masyarakat miskin seolah hanya menjadi ikon bansos musiman untuk memoles citra pejabat dan penguasa. 

Kehidupan dalam kapitalisme memaksa semua orang untuk bertahan hidup dan mengamankan dirinya dengan cara apapun, ditambah dengan pola pikir bahwa kebahagiaan dicapai dengan kebebasan berprilaku, maka tidak heran jika masyarakat yang terbentuk menjadi individualis. Ingin peduli mencegah kemaksiatan malah diancam pencemaran nama baik atau dianggap menganggu HAM, ingin menolong orang lain yang tidak mampu, tapi kehidupan sendiri juga jauh dari cukup. Seperti dalam kasus Raya, kepedulian warga yang berada dilingkungannya terhambat oleh kondisi ekonomi yang kurang lebih sama, mereka ingin berbuat lebih tapi juga tidak mampu. Setelah kasus ini viral, para pejabat daerahnya yang jelas telah abai memberikan klarifikasi dan dokumentasi bahwa Raya sudah menjadi ‘perhatian’ dalam pemberian bantuan sosial sejak bayi, rumah Raya kemudian diperbaiki menjadi hunian lebih layak. Kemana mereka sebelum kasus ini viral? Padahal rumah itu sudah pernah hancur dan hanya ada warga yang secara swadaya membantu perbaikan semampunya. 

Kehidupan dalam sistem Islam tentu berbeda, dimana negara bertanggung jawab penuh dalam kehidupan dasar rakyatnya. Baik kaya maupun miskin akan mendapatkan akses kebutuhan dasar seperti bahan pokok, bahan bakar, tempat tinggal layak, Pendidikan dan layanan kesehatan yang sama. Tidak akan dijumpai sekat rakyat yang mampu membayar akan mendapat akses Pendidikan dan pelayanan kesehatan yang lebih baik, sedang yang tidak mampu hanya mengakses seadanya atau malah tidak bisa sama sekali seperti Raya. Hal ini sudah terjadi dalam masa kekhilafahan yang tegak selama belasan abad. Terbukti keadilan dan kesejahteraan hanya ada ketika Islam ditegakkan. Sekat sekat akses layanan seperti saat ini merupakan kezaliman dan pelanggaran hukum dalam negara yang menegakkan syariat Islam. 

Dalam islam, Sumber Daya Alam dan Energi (SDAE), pemanfaatan lahan hutan, hingga lautan tidak boleh dikuasai oleh swasta atau sekelompok orang. Kekayaan alam itu harus dikelola negara untuk membiayai dan memenuhi kebutuhan rakyat dalam mengakses kebutuhan dasar tadi. Kalau tidak bisa gratis maka harus terjangkau dengan harga semurah murahnya. Itulah tugas seorang Pemimpin dalam negara yang menegakkan Hukum Syara’, yaitu meri’ayah rakyatnya bukan menjadi wasit yang menggelar karpet merah pada investor swasta untuk mengeksploitasi (SDAE), apalagi menjadi pengusaha sekaligus penguasa agar mendapat kekayaan berlimpah di kantong pribadi. Parahnya lagi, malah menambah beban pajak pada rakyat dengan dalih untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas fasilitas layanan kesehatan dan Pendidikan yang selama ini sudah tidak gratis dan tidak mudah terjangkau. 

Dengan pemenuhan kebutuhan dasar yang adil dan merata, maka Masyarakat yang terbentuk dalam daulah secara ekonomi tercukupi, bansos tidak diperlukan dan secara sosial, sifat masyarakat individualis seperti sekarang ini tidak akan ada. Sehingga jika menemukan kondisi seperti keluarga Raya tidak hanya menjadi koreksi dan alarm bagi penguasa, dan pastinya sudah tertolong jauh sebelum Raya lahir. Belum cukupkah segala bentuk kerusakan tersistematis yang terjadi saat ini? Harus berapa ‘Raya’ lagi yang menjadi korban agar kita sadar dan segera menghempaskan sistem bobrok kapitalisme ini dan kembali pada hukum buatan Allah SWT yang telah terbukti memberikan kesejahteraan dan keadilan selama 14 abad. Wallahu’alam

bisawab.

Oleh : Ana Fitriani

 

 

Terkini