Samarinda - Residivis adalah orang yang melakukan tindak pidana lagi setelah sebelumnya sudah pernah melakukan tindak pidana dan telah menjalani hukuman. Istilah residivis sering digunakan dalam konteks hukum dan kriminologi. Mirisnya, di negeri yang tidak menjadikan agama sebagai pemutus perkara, remisi dan residivis terus berulang.
Salah satunya seorang residivis perempuan bernisial IS (43) asal Desa Bukti Makmur, Kecamatan Kaliorang ditangkap Polres Kutai Timur (Kutim). Ia harus kembali menginap di lapas karena kasus sabu-sabu.
Bahkan, di tangan IS terdapat 3.130 gram sabu-sabu dengan kisaran Rp 4 miliar. Rencanya, barang haram itu akan diedarkan. Sebelumnya, IS telah keluar dari lapas tahun 2021 dengan ancaman kurungan 7 tahun. Namun ia kembali melakukan aksinya baru-baru ini. Pelaku diamankan karena adanya laporan dari warga di Desa Bukit Makmur yang menduga adanya transaksi narkotika.
Hasil penangkapan, terdapat 3 kantong besar di dalam mobil yang didapat oleh tersangka dari seseorang tak diketahui namanya dan disimpan di Jalan Berbas, Kota Bontang. Para pelaku tidak saling mengenal karena menggunakan modus operandi yaitu sistem lempar atau sistem hilangkan jejak. Di sinilah tugas polisi untuk mengungkap identitas para pelaku. Kapolres Kutim, AKBP Chandra mengatakan, dari hasil interogasi, keuntungannya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Atas kasus ini, pelaku IS terjerat Pasal 114 ayat (2) Sub Pasal 112 ayat (2) UURI No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dengan ancaman hukuman paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun, dengan denda paling sedikit Rp 1 Miliar dan paling banyak Rp 10 Miliar.
Namun, Kasat Resnarkoba AKP Damianus Jelatu mengatakan, mengingat status pelaku yang residivis serta barang bukti yang banyak, maka tersangka berpotensi mendapat hukuman mati.
Pelaku sebelumnya juga telah mendapatkan remisi-remisi sehingga awalnya hukuman penjaranya 7 tahun, berubah menjadi 5 tahun lebih.
Damianus menambahkan, 3 tahun pasca keluar dari rutan, pelaku baru memulai aksinya di tahun 2024.
Peristiwa menyedihkan lainnya tentang narapidana yang mendapat remisi juga terjadi di Kota Bontang. Sebanyak 113 narapidana Lapas Kelas IIA Bontang menerima remisi khusus Hari Raya Nayal.
Kepala Lapas Kelas IIA Bontang, Suranto melalui Kasubsi Registrasi, Dwi Satrio Kuncoro mengatakan, narapidana tersebut didominasi oleh kasus narkotika serta perlindungan perempuan dan anak.
Selain itu, remisi juga diberikan kepada 10 narapidana kasus pencurian, 6 kasus penggelapan, dan 5 kasus pembunuhan.
Masing-masing satu narapidana kasus KDRT, perbankan dan penipuan juga menerima remisi. Potongan masa hukuman yang diberikan beragam. Sebanyak 21 warga binaan mendapat remisi 15 hari, 82 orang mendapat remisi 1 bulan, dan 5 lainnya mendapat potongan hukuman selama 1 bulan 15 hari.
Dwi menegaskan bahwa pemberian remisi adalah bagian dari upaya penghargaan terhadap warga binaan yang menunjukkan perilaku baik dan aktif mengikuti program pembinaan. Dwi berharap, remisi ini bisa menjadi motivasi bagi warga binaan lain untuk lebih bersemangat menjalani masa pidananya dengan sikap positif.
Sistem Hukum Lemah?
Banyaknya narapidana yang mendapat remisi (potongan masa hukuman) dan narapidana yang menjadi residivis telah membuktikan bahwa sistem hukum di negeri ini sungguh lemah dan tidak menjerakan. Kalau sudah begini, wajar jika kasus kriminal terus terjadi setiap harinya. Menurut data Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah kasus kejahatan di Indonesia pada tahun 2024, berjumlah 325.150 kasus. Angka ini mengalami kenaikan sekitar 36.678 kasus atau 12,7% dibandingkan tahun 2023 yang berjumlah 288.472 kasus.
Jika jumlah kasus kejahatan di Indonesia pada tahun 2024 yang berjumlah 325.150 kasus dibagi per hari maka ada 890 kasus setiap harinya. Sungguh mengerikan! Imbasnya, lapas pun juga mengalami over kapasitas. Hal ini tentu tak bisa dianggap remeh karena jaminan hak hidup aman dan tentram di negeri ini kian terampas.
Para penegak hukum di negeri ini haruslah merenung dan menggunakan akalnya untuk berfikir bahwa maraknya peluang kejahatan yang dilakukan oleh rakyat, sejatinya disebabkan oleh sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan oleh negara hari ini dan menjadi landasan dalam membuat kebijakan yang mengatur rakyat.
Sistem ini disebut sekuler karna meniadakan agama untuk turut campur dalam membuat hukum dan kapitalisme karena membentuk cara pandang kehidupan yang menuhankan kebebasan dan materi semata.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, ada kebebasan kepemilikan yang mengakibatkan kekayaan alam yang seharusnya dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat, justru kepemilikannya diserahkan kepada individu atau perusahan swasta asing dan aseng. Anehnya, negara justru menjadikan pajak dan utang sebagai sumber pendapatan negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat.
Alhasil, rakyat semakin miskin dan sulit memenuhi kebutuhan karena tingginya pajak, sulitnya lapangan pekerjaan, subsidi yang semakin dipersulit dan kebutuhan pokok yang serba mahal. Maka, “wajar” akhirnya rakyat mencari jalan pintas dengan mencuri, merampok, begal. korupsi dan melakukan transaksi haram seperti bisnis narkoba demi memenuhi kebutuhan hidup.
Sistem kehidupan sekuler juga telah membuat masyarakat berani berbuat kriminal karena penegakan hukum yang tak memberi efek jera. Minimnya kontrol penguasa dan masyarakat yang individualis menyebabkan perilaku maksiat mudah ditemukan di setiap tempat. Lapas pun bukan lagi menjadi tempat yang menakutkan dan harus dijauhi namun dari lapas malah muncul kejahatan baru seperti jual beli kamar lapas, pemerasan, perkelahian antar narapidana, peredaran narkoba, praktik suap bahkan transaksi prostitusi.
Demikianlah, sistem hukum di negeri ini memang terbukti lemah karena penanganannya jarang menyentuh akar permasalahan dan tidak adanya langkah preventif dari negara untuk mencegah kasus kriminal terjadi lagi.
Penguasa dan aparat penegak hukum nampaknya hanya sibuk menangkap dan memberikan remisi kepada pelaku namun tak pernah memikirkan mengapa kasus tersebut berulang kali terjadi. Lantas, masihkah kita nyaman melihat ketidakadilan hukum di depan mata kita?
Sistem Hukum Islam Jera dan Menjerakan
Sebelum penegakan sistem hukum, Islam telah memiliki berbagai aturan untuk mengatur kehidupan manusia dan meminimalisir tindak kejahatan.
Beberapa aturan tersebut diantaranya, pertama, ketakwaan individu. Setiap individu Muslim mesti memiliki rasa takut dan senantiasa diawasi oleh Allah dengan menaati seluruh perintah dan menjauhi larangan-Nya. Untuk membentuk ketakwaan ini diperlukan sistem pendidikan yang berbasis aqidah Islam dan
kedua, ketakwaan masyarakat yang diwujudkan dengan tradisi amar makruf nahi mungkar. Tradisi ini tak boleh hilang dari umat Islam karena dengan tradisi ini, umat Islam digelari sebagai umat terbaik, dijauhkan dari azab Allah dan mencegah terjadinya kasus kriminal. Begitupun aparat penegak hukum yang harus bertakwa.
Ketiga, peran negara yang menerapkan Islam dalam semua bidangnya yaitu dalam sistem ekonomi, politik, hukum, kesehatan, pendidikan, sosial budaya dan keamanan. Hal ini penting karena sistem ekonomi Islam akan mensejahterakan rakyat dengan aturannya yang mengatur bahwa distribusi kekayaan tidak boleh beredar di kalangan orang kaya saja.
Alhasil, pengelolaan SDAE akan benar-benar dimanfaatkan negara untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan masyarakat tidak memiliki celah lagi untuk berbuat kriminal karna sempitnya kebutuhan.
Demikianlah, cara Islam dalam meminimalisir tindak kejahatan. Sistem hukum Islam pun juga terbukti menjerakan karena telah ditentukan kadarnya dan ketetapannya yang berasal dari Allah.
Sanksi dalam Islam juga bersifat zawajir (pencegah) yaitu akan mencegah seseorang melakukan perbuatan kriminal karena hukumannya yan menjerakan dan disaksikan oleh khalayak umum. Hukuman tersebut diantaranya hukuman cambuk, potong tangan, hukuman mati, diasingkan dan sebagainya. Selain itu, sistem hukum islam juga bersifat jawabir (penebus dosa) karena perbuatan seseorang yang dihukum dengan hukum islam, perbuatannya tidak akan dibalas lagi di akhirat.
Alhasil, masyarakat tidak berani berbuat kriminal dan jika terlanjur berbuat kriminal ia akan menyerahkan dirinya agar dapat meringankan dosanya di akhirat.
Sudah saatnya, penegakkan sistem Islam dalam naungan negara khilafah ar-rasyidah harus diperjuangkan dan dibaca sebagai wujud kepedulian kita bersama agar kaum muslimin bisa lepas dari kesempitan hidup dan ketidakadilan hukum akibat penerapan hukum buatan manusia dalam sistem demokrasi kapitalis sekuler. Mari kita mengambil peran wahai umat Islam! Wallahu ‘alam bis shawab.
Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti S. Ag
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru