Samarinda - Menarik apa yang disampaikan oleh anggota DPRD Provinsi Kaltim Fitri Maysaroh yang mendorong partisipasi perempuan meningkat di lembaga legislatif. Menurut beliau, kehadiran perempuan sangat penting di berbagai aspek. sehingga menurutnya, penting untuk mengadvokasi agar perempuan hadir di berbagai aspek baik hukum, sosial, ekonomi dan politik.“Perempuan penentu bangsa ini, kita harus memastikan keterlibatan perempuan dalam berbagai aspek,” ujarnya beberapa waktu (sumber: https://mediakaltim.com/legislator-pks-ini-dorong-partisipasi-perempuan-meningkat-pada-pemilu-2024/ ).
Sebagian kaum muslim berpendapat bahwa Islam dan politik semestinya saling bergandengan. Sebagian yang lain berpendapat bahwa politik dan Islam harus dipisah. Bagi sebagian yang tidak setuju politik bergandengan dengan agama, berpendapat bahwa Islam adalah agama yang fokus kepada peribadahan terhadap Tuhan sehingga jika melibatkan politik di sana dapat mengganggu aktivitas ibadah ini. Ini karena politik berkutat pada kegiatan yang cukup pragmatis. Maka dari itu, kita tinggal memilih apakah penting politik itu disandingkan dengan agama atau tidak. (khilafah[dot]id).
Apabila kita cermati, kedua pendapat ini sebenarnya sama, sama-sama lahir dari ide sekularime yang memisahkan agama dari kehidupan. Hanya saja, kelompok pertama tidak mau mengakui sekuler, karena tetap terlibat dalam sistem yang ada saat ini namun tetap mengambil nilai-nilai agama. Sedangkan pihak kedua terus terang menolak keterlibatan agama dalam politik.
Dampak dari kedua pandangan yang berbeda ini tampak semakin nyata saat menjelang pemilu.
Disampaikan oleh perwakilan muslimah muda Yulia Fitri Sagita dalam Kongres Muslimah Muda (KMM) 2023, “Islam & Empowering Girls: Jadikan Hidup Lebih Mulia ” di Jakarta, Ahad (29-10-2023), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk perempuan 1,45 juta jiwa lebih banyak dibanding laki-laki. “Artinya, perempuan muda yang memegang peranan penting dalam arah politik masa depan bangsa,” jabarnya.
Ketika membutuhkan suara untuk pemilihan kekuasaan, ia memaparkan bahwa perempuan dirangkul dan “dibumbung” atas nama peran politik untuk perubahan bangsa.
Dan ini semakin dikuatkan dengan adanya program dari SDGs atas nama kesetaraan gender pada program poin kelima. Adapun tentang SDGs sendiri adalah 17 tujuan global dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk perdamaian dan kemakmuran manusia dan planet bumi sekarang dan masa depan.
Dengan adanya SDGs ini, terkait peran politik perempuan, maka perempuan dapat memanfaatkan SDGs sebagai “alat tagih” kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak perempuan, mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender serta memperkuat Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan. Pengarusan pemenuhan kuota 30% sebagai jawaban terhadap tuntutan keseteraan gender ini.
Jika demikian, sudah tepatkah menjadikan para muslimah ini berperan aktif dalam aktifitas politik?
Politik dan Aktivitas Muslimah dalam Islam
Kata “politik” sering kali dimaknai salah. Politik masih sering diidentikkan dengan tipu daya, politik itu kotor, politik itu perebutan kekuasaan, dan persepsi buruk yang lainnya. Distorsi makna ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Tujuannya adalah jangan sampai pribumi mayoritas muslim ini menginginkan pemerintahan ada pada kendali mereka. Jika ini terjadi, tentu penduduk negeri ini tidak mau dijajah oleh Belanda dan menuntut kemerdekaan.
Politik dalam arti sekarang dimaknai sempit hanya keterlibatan suara saat pemilu dan memenuhi kuota 30% dalam parpol legeslatif. Perempuan terjebak dalam politik praktis ala kapitalis sehingga perannya tumpul untuk mencerdaskan umat dengan Islam. Tidak sedikit menganggap politik itu kotor sehingga enggan ketika diajak atau sekedar ngaji bagaimana politik dalam Islam. Menghindari kajian dakwah politik lebih kepada ibadah mahdah saja sehingga phobia dengan Islam politik atau terjebak dalam politik praktis demokratis mengatasnamakan Islam.
Tentu saja distorsi makna politik ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, melainkan harus diluruskan agar aktivitas politik berjalan pada rel yang benar dan tujuan berpolitik bisa tercapai dengan baik.
Secara etimologi (lughawih/bahasa), politik (as-siyâsah) berasal dari kata sâsa-yasûsu-siyâsatan yang berarti ‘mengurus kepentingan sesorang’. Dalam kamus Al-Muhîth dikatakan, “Sustu ar-ra’iyata siyasatan,” yang berarti, “Saya memerintah dan melarangnya.”
Dekat dengan pengertian ini. Secara terminologi (istilah), Ahmad ‘Athiyah menyatakan politik bermakna ‘memelihara, mengurus, dan memperhatikan urusan rakyat’.
Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum, politik Islam adalah mengatur urusan rakyat, baik dalam negeri maupun luar negeri sesuai dengan ajaran Islam. Politik ini secara praktis dilakukan oleh negara dan rakyat berkewajiban untuk mengontrol jalannya pemerintahan agar sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karenanya, rakyat mempunyai kewajiban untuk menasihati dan mengoreksi penguasa. (Syekh Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Bangil: Al-Izzah, hlm. 11—15).
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 208,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Dalam Tafsir Jalalain Juz I hlm. 214, Imam Jalaluddin menafsirkan QS Al-Baqarah: 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan/secara totalitas, maksudnya ke dalam seluruh syariat Islam. Allah mewajibkan penerapan hukum Islam (pengaturan urusan rakyat sesuai ajaran Islam) secara keseluruhan, baik terkait akidah, syariat, ibadah, muamalah, ekonomi, sosial, politik, hingga pemerintahan. Allah mengharamkan mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.
Memperhatikan definisi politik Islam dan perintah Allah untuk masuk Islam secara kafah tersebut, merupakan keniscayaan politik Islam dan agama Islam bukan sekadar bergandengan dan hanya nilai-nilai Islam yang mewarnai politik. Akan tetapi, setiap muslim wajib berpolitik Islam, yaitu mengatur urusan rakyat berdasarkan akidah Islam. Politik ini secara praktis dilakukan negara dan rakyat berkewajiban untuk mengontrol jalannya pemerintahan agar sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karenanya, rakyat berkewajiban untuk menasihati dan mengoreksi kepada penguasa. (Syekh Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Bangil: Al-Izzah, hlm. 11—15).
Kewajiban negara adalah menerapkan politik Islam di dalam negeri, yaitu melaksanakan seluruh aturan atau hukum Islam yang berkaitan dengan pengaturan urusan rakyat di dalam negeri, yakni dengan menerapkan berbagai sistem, yakni ekonomi, keuangan, politik, hukum, sanksi, dan pemerintahan secara menyeluruh. Untuk politik luar negeri adalah membangun hubungan luar negeri dengan misi mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Menyikapi kondisi sekarang, yaitu belum diterapkan hukum Islam di negeri ini, kaum muslim harus memainkan peran strategisnya dalam politik, yaitu mengubah keadaan politik atau pengaturan urusan rakyat agar sesuai ajaran Islam. Aktivitas politik yang harus dilakukan adalah amar makruf nahi mungkar dan menasihati/mengoreksi penguasa. Tentu saja hal ini tidak bisa terlaksana secara sempurna, kecuali dilakukan secara bersama-sama dalam partai politik Islam yang bertujuan menegakkan aturan Islam secara keseluruhan.
Firman Allah dalam QS Ali Imran: 104,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”
Peran politik perempuan adalah bukti ketaatannya pada hukum syarak. Siapa pun yang mempelajari syariat Islam secara mendalam akan mendapati bahwa Islam mengatur peran perempuan dan laki-laki secara sempurna.
Aktivitas keduanya, lanjutnya, diatur dengan seperangkat hukum yang terkumpul dalam al-ahkam al-khamsah (lima hukum perbuatan manusia: wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram). Semua perbuatan manusia tidak terlepas dari salah satu hukum yang lima tersebut. Tidak ada satu pun amal manusia yang tidak ada status hukumnya.
Ketika perempuan muslimah memainkan peran politiknya, ia tidak boleh abai terhadap status hukum masing-masing aktivitas yang akan dijalankannya. Dalam implementasinya pada kehidupan nyata harus kembali kepada derajat hukum perbuatan tersebut (skala prioritasnya/aulawiyat).
Terhadap perkara wajib, jelasnya, tidak memiliki pilihan. Dalam keadaan apapun mesti berupaya melaksanakannya dengan segenap kemampuan, seperti kewajiban melakukan amar makruf nahi mungkar yang tercantum dalam QS Ali Imran ayat 104.
Peran perempuan dalam melakukan muhasabah atau koreksi terhadap penguasa ini, bukan sekadar teori, tetapi benar-benar telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Islam.
Dalam urusan pengangkatan pemimpin, Islam memberikan hak dan kewajiban untuk melakukan baiat khalifah kepada perempuan sebagaimana kepada laki-laki,” tuturnya.
Kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan Islam dipegang oleh seorang khalifah. Pengangkatan khalifah akan dianggap sah jika telah terjadi baiat yang sempurna dari sisi kaum muslimin, yaitu pernyataan kerelaan mengangkatnya sebagai pemimpin dan keridaan untuk menaatinya selama mereka memberlakukan hukum-hukum Allah di muka bumi ini.
Peran politik perempuan yang lain adalah memenuhi hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Peran ini bukanlah kewajiban, tetapi termasuk hak mereka sehingga tidak mengikatnya. Majelis umat adalah sekumpulan wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada khalifah, pemimpin mereka.
Anggota majelis umat,akan menyampaikan apapun yang dibutuhkan rakyat dan sekaligus menyarankan solusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Keterlibatan perempuan untuk mewakili aspirasi umat ini tergambar dalam peristiwa Baiat Aqabah II. Sebagaimana Ibnu Hisyam meriwayatkannya dari Ka’ab bin Malik bahwa di antara 73 orang utusan laki-laki ada 2 orang wakil perempuan, yakni Nusaibah binti Ka’ab dan Asma binti Amr bin Adi.
Sikap Muslimah dalam Aktivitas Politiknya
Dalam menjalankan berbagai peran politiknya sudah seharusnya seorang muslimah melakukannya karena dorongan ingin terikat kepada ketentuan syariat, bukan karena motivasi lain seperti demi memperjuangkan kesetaraan atau untuk mengejar eksistensi diri. Hanya dengan niat taat pada syariatlah yang akan menghantarkannya pada keberkahan hidup.
Sebelum terjun melibatkan diri, ia akan memastikan dulu status hukum perbuatan tersebut. Pemahaman ini merupakan modal untuk bisa merespons dengan sikap yang tepat saat aktivitas tersebut mengikat dan tidak memberikan alternatif pilihan. Saat suatu amal berstatus mubah sehingga boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Lalu perbuatan mana saja yang justru haram dan harus dihindari.
Wallaahu ‘alam bisshowwab
Penulis: Yulita Andriani
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru