Share ke media
Opini Publik

Syawal Kita Menyantap Hidangan, Namun Palestina Menelan Duka, Mengapa Umat Tak Bergerak?

15 Apr 2025 02:21:3547 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : Tempo.co - Idul Fitri Paling Menyedihkan Bagi Warga Gaza, Terancam Bom hingga Kelaparan - 10 April 2024

Samarinda - Idul Fitri adalah momentum istimewa bagi umat Islam. Setelah sebulan penuh menahan lapar, haus, dan hawa nafsu di bulan Ramadan, umat Islam merayakan kemenangannya di hari yang suci ini. Hari Raya Idul Fitri datang sebagai waktu untuk bersilaturahmi, berbagi kebahagiaan, dan menyantap hidangan bersama keluarga tercinta. Senyum merekah di setiap wajah, rumah-rumah dihiasi, dan masjid-masjid dipenuhi takbir dan tahmid. Inilah momen kemenangan ruhiyah yang selalu dirindukan.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, kita tidak bisa menutup mata bahwa ada sebagian besar saudara kita yang tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Di Syawal ini, masih banyak umat Islam yang justru menelan duka, terutama di Palestina. Ketika kita menikmati ketupat dan opor ayam, mereka berjuang mempertahankan hidup di bawah desingan peluru dan bom. Ketika kita berkumpul dengan keluarga dalam damai, mereka kehilangan rumah, sanak saudara, bahkan tempat berlindung. Ini bukan kisah baru, tapi terus berulang dan makin memburuk.

Palestina saat ini menjadi simbol penderitaan umat Islam yang belum usai. Warga Gaza dan Tepi Barat harus menghadapi penjajahan Zionis yang semakin brutal dan tidak mengenal belas kasihan. Bayi-bayi syahid dalam dekapan ibunya, para perempuan menjadi janda seketika, anak-anak kehilangan masa depan. Mereka terusir dari tanah kelahiran, merayakan lebaran dalam puing-puing bangunan, bahkan masih mendapatkan serangan massif dari zionis diluar batas nalar manusia. Di balik takbir kemenangan kita, suara tangis dan jerit kesakitan mereka justru bergema lebih keras.

Islam Adalah Satu Tubuh

Realita ini menunjukkan bahwa kebahagiaan umat Islam belumlah sempurna. Bagaimana bisa kita bersuka ria ketika sebagian besar tubuh umat justru dalam sengsara? Umat Islam adalah satu tubuh, seperti sabda Rasulullah ﷺ,

“Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi, adalah seperti satu tubuh. Bila salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakit, demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Muslim).

Syawal yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan, justru menjadi momentum duka bagi saudara-saudara kita yang masih dijajah dan dianiaya.

Kondisi Palestina bukanlah tragedi biasa, melainkan bukti bahwa sistem global hari ini telah gagal menjaga perdamaian, keadilan, dan kemanusiaan. Dunia diam. Negara-negara besar bungkam, bahkan sebagian mendukung secara politik maupun militer agresi penjajahan terhadap Palestina. Dunia Islam pun mayoritas hanya mengeluarkan pernyataan belasungkawa atau seruan kosong tanpa aksi nyata. Padahal sudah terlalu lama penderitaan ini terjadi. Dari tahun ke tahun, dari Ramadhan ke Ramadhan, bahkan dari Syawal ke Syawal, tidak ada perubahan signifikan yang memberi harapan.

Sistem internasional saat ini tidak dibangun untuk melindungi umat, tetapi untuk menjaga kepentingan para penjajah dan kapitalis. PBB yang katanya menjaga perdamaian, justru menjadi pelindung eksistensi Israel. Negara-negara Muslim yang tergabung dalam OKI atau Liga Arab, seolah tidak berdaya. Pemerintah negeri-negeri Muslim tidak pernah benar-benar bersatu mengangkat senjata untuk membela saudara seiman. Ini semua karena kita masih terkungkung dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan nasionalisme sebagai pengikat, bukan akidah Islam.

Sistem sekuler kapitalisme telah menjadi biang utama dari penderitaan ini. Ia telah melahirkan penguasa-penguasa boneka yang hanya berpikir keuntungan dan kekuasaan. Mereka tidak merasa bertanggung jawab atas penderitaan umat Islam di belahan dunia lain, karena tidak menganggap umat sebagai satu kesatuan. Padahal Allah SWT telah mengingatkan kita:

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 92).

Islam memandang umat ini satu tubuh yang dipimpin oleh satu pemimpin yang menyatukan dan melindungi seluruh wilayah kaum Muslimin.

Kesadaran akan kehancuran sistem sekuler harus segera tumbuh di tengah umat. Kita tidak bisa terus-menerus berharap pada sistem yang justru membiarkan darah umat mengalir sia-sia. Saatnya umat Islam mencari alternatif sistem yang berasal dari wahyu, bukan hasil rekayasa akal manusia yang lemah. Islam bukan sekadar agama ritual, tapi juga sistem kehidupan yang lengkap dan sempurna. Allah SWT berfirman:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah: 3).

Urgensi Khilafah

Sejarah mencatat, Islam pernah menjadi peradaban agung selama lebih dari 13 abad di bawah naungan Khilafah. Di masa itu, Palestina, Masjid Al-Aqsha, dan seluruh negeri Islam terlindungi dengan baik. Tidak ada yang berani mengusik tanah kaum Muslimin, karena ada institusi politik yang kuat yang siap membela dan membalas setiap agresi. Khilafah bukanlah utopia, tetapi realitas sejarah yang telah terbukti mengangkat derajat umat Islam dan menjaga kehormatan mereka.

Kini saatnya umat menguatkan keyakinannya bahwa fajar kemenangan Islam akan segera terbit. Kesadaran umat di berbagai belahan dunia mulai tumbuh, suara untuk kembali kepada sistem Islam semakin nyaring. Umat butuh Khilafah, bukan hanya sebagai simbol politik, tapi sebagai institusi nyata yang mampu menerapkan Islam secara kaffah. Dengan Khilafah, aturan Allah akan ditegakkan, keadilan ditegakkan, dan kehormatan umat dijaga. Dalam Khilafah, kebahagiaan bukan hanya milik segelintir orang, tapi dirasakan oleh seluruh umat di manapun mereka berada.

Kaum muslim harus memahami benar akar persoalan ini agar tidak termakan dengan solusi bulus yang ditawarkan Barat atau PBB seperti Solusi dua negara, ataupun juga relokasi penduduk Gaza. Kaum muslim harus memahami bahwa akar persoalan Palestina perampasan wilayah oleh Zion*s Yahudi atas Palestina sehingga solusinya adalah mengusir mereka dari tanah Palestina. Solusinya hanyalah dengan jihad dan Khilafah, namun adanya sekat-sekat kebangsaan saat ini membuat kaum muslin tercerai berai dan tidak berdaya.

Perjuangan menegakkan Khilafah bukanlah pilihan, tapi kewajiban. Ini bukan proyek kelompok, tetapi amanah syar’i bagi seluruh kaum Muslimin. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Siapa saja yang mati dan belum dalam keadaan membaiat seorang khalifah, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim).

Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya institusi Khilafah dalam kehidupan umat Islam. Tanpanya, umat akan terus tercerai-berai dan menjadi sasaran empuk para penjajah.

Perjuangan ini harus dilakukan secara terorganisir melalui jamaah dakwah ideologis yang menyeru kepada Islam kaffah. Dakwah ini bukan sekadar seruan emosional, tapi perjuangan intelektual dan politis untuk membangun kesadaran umat dan menyiapkan kondisi umat menuju tegaknya kembali Khilafah. Kesatuan umat, kesamaan visi, dan keikhlasan dalam berjuang menjadi kunci kemenangan.

Umat Islam membutuhkan sosok seperti Solahuddin Al-Ayyubi yang mampu membebaskan Palestina dengan jalan Jihad. Perjuangan untuk membela Palestina dan seluruh wilayah umat Islam yang dijajah termasuk bagian dari jihad fi sabilillah. Allah SWT berfirman:

“Dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah di antara laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak yang mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu” (QS. An-Nisa: 75)

Ayat ini adalah seruan nyata bagi umat untuk membela saudara-saudara mereka yang dizalimi, seperti halnya rakyat Palestina hari ini. Mereka berdoa dan merintih dalam keterjajahan, dan umat Islam memiliki kewajiban untuk menjawab seruan itu dengan jihad yang benar. Bukan sekadar angkat senjata tanpa arah, tapi perjuangan politik yang terorganisir untuk menegakkan sistem Islam yang akan mengembalikan kemuliaan umat dan membebaskan negeri-negeri Muslim dari cengkeraman penjajah.

Syawal ini , mari kita jadikan momentum untuk bangkit. Saat kita menyantap hidangan lebaran, jangan lupakan air mata Palestina. Jadikan duka mereka sebagai bara semangat untuk terus berjuang. Bukan sekadar mendoakan, tapi juga mengupayakan perubahan sistemik demi kebahagiaan hakiki yang Allah Ridhoi. Semoga Allah SWT segera memberikan pertolongan-Nya, membukakan jalan kemenangan, dan mempertemukan kita semua dalam naungan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Wallahualam bissawab.

Oleh : Rizky Saptarindha A.md (Aktivis)

Terkini