Samarinda - Kementerian Agama menyarankan agar Misa yang dipimpin oleh Paus Fransiskus pada tanggal 5 September 2024 pada pukul 17.00 sampai 19.00 WIB disiarkan secara langsung dengan tidak terputus pada seluruh televisi nasional, berupa running text tanpa memutus siaran langsung misa oleh Paus. Demikian pernyataan dari Ditjen Bimas Islam dan Katolik Kemenag pada Selasa (3/9) kemarin. Hal ini didukung oleh Ulil Abshar Abdalla bahwa “Kemenag tidak saja milik umat Islam, tetapi juga milik semua agama.”
Padahal, masalah ini bukan sekedar masalah Kemenag punya siapa, tapia da masalah lain yang harus ditelusuri dan disikapi agar umat Islam tidak salah dalam berbuat hanya karena atas nama perdamaian dan toleransi beragama.
Secara historis realitas warga negara dalam negara Islam (Khilafah) adalah majemuk atau heterogen, bukan negara yang homogen. Ketika negara Islam berdiri pertama kali di Madinah, saat Rasulullah ﷺ bertindak sebagai kepala negara waktu itu, warga negaranya juga majemuk. Di sana ada umat Islam, Nasrani, Yahudi, dan lain-lain. Seperti itu pula dengan kehidupan pada era kekhilafahan setelahnya.
Semua warga negara Islam atau Khilafah yang non-muslim disebut sebagai dzimmi. Mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi. Negara khilafah harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, dan harta benda semua warganya, muslim maupun non-muslim. Jaminan ini ditegaskan dalam Al-Qur’an,firman Allah Ta’ala:
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ
(Tidak ada paksaan dalam memeluk [agama] Islam) (TQS Al-Baqarah [02]: 256).
Meski warga negara Khilafah yang non-muslim diberi hak untuk memeluk agama mereka, serta bebas menjalankan ibadah, makan, minum, berpakaian, nikah, dan talak menurut agama mereka, hanya saja, mereka tidak boleh mengajak atau mempengaruhi orang Islam untuk mengikuti agama dan keyakinan mereka, termasuk tidak akan menampakkan syiar dan perayaan agama mereka di kehidupan publik, kecuali di rumah, gereja, atau komunitas mereka saja.
Hal ini dalam rangka penjagaan akidah warga negara Khilafah yang muslim oleh negara.
Para ulama fikih telah sepakat bahwa ahlu dzimmah berhak menjalankan syiar-syiar agama mereka. Mereka tidak dilarang untuk menjalankan aktivitas tersebut selama mereka tidak menampakkan secara terang-terangan.
Bila mereka ingin menjalankan syiar-syiar agama mereka secara terang-terangan, seperti mengeluarkan tanda salib mereka, maka para ulama fikih melarang mereka melakukan hal tersebut di daerah-daerah Islam, dan tidak melarang mereka untuk melakukannya di daerah dan perkampungan mereka.
Justru dengan tetap berjalan seperti biasa, menunjukkan toleransi umat Islam terhadap agama lain sudah baik. “Lakum Diinukum Waliyyaddiin” (Bagimu Agamamu dan Bagiku Agamaku) jelas batasannya, dan tidak bermakna turut membantu syiar agama lain.
Dan firman Allah SWT :
نَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا ۢ بَيْنَهُمْۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam. Orang-orang yang telah diberi kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Siapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan(-Nya).”
Wallaahu’alam bish-showwab.
Penulis: Dra.Hj.Sri Wahyuni Abdul Muin
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru