Share ke media
Opini Publik

Tanpa Listrik dan Air Bersih, Di Mana Peran Negara?

13 Jun 2025 06:36:5718 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : antaranews.com - Mendorong tersedia air minum berkualitas demi generasi emas Indonesia - 3 November 2024

Samarinda - Bayangkan hidup di tengah tambang yang setiap hari mengeruk kekayaan bumi. Suara alat berat menderu, truk lalu-lalang membawa batu bara yang nilainya miliaran rupiah, jalanan yang rusak dan debu yang selalu terhirup setiap hari. Tapi, justru rumahmu gelap gulita setiap malam bahkan tidak ada air bersih untuk minum, mandi, atau memasak. 

Inilah kenyataan pahit yang dialami warga RT 28, Dusun Bukit Kayangan, Desa Singa Gembara, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Sudah puluhan tahun mereka hidup tanpa listrik dan air bersih, meskipun tambang batu bara berdiri megah di sekitar mereka. Tiang Listrik berdiri,Pipa PDAM tertananm dalam tanah, tapi tak pernah sampai ke rumah-rumah mereka. Seolah-olah pembangunan hanya lewat, tanpa menyadari kehadiran mereka.

Minggu 18/5/2025 Ketua RT setempat, Hadi menyatakan “Tiang sudah ada, pipa juga. Tapi tidak bisa jalan, alasannya karena kami di Kawasan tambang”. 

Status kawasan Bukit Kayanan berada dalam konsesi tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC), yang membatasi akses dan pengembangan infrastruktur dasar. Warga juga harus melewati portal dan pos penjagaan Objek Vital Nasional untuk memasuki wilayah mereka, menciptakan isolasi yang semakin dalam.

“Rumah saya jaraknya cuman 60 sampai 70 meter dari aktivitas tambang. Kalau malam bisingnya bukan main. Dozer lewat, truk lewat, semuanya terdengar dari dalam mushola’. Keluh Hadi

Yuli Mutiawati seorang, seorang Ibu Rumah Tangga juga menambahkan “Pemerintah cobalah tinjau kesini. Kami juga warga. Janganlah menunggu kami berteriak lebih keras. Kalau bisa Perusahaan jangan bertele-tele. Langsung saja bantu atau Ganti rugi. Kasian warga sini”. Ucapnya dengan lirih.

Warga Bukit Kayangan tidak menuntut fasilitas mewah, melainkan kebutuhan dasar seperti listrik dan air bersih yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara. Mereka berharap agar pemerintah dan perusahaan tambang dapat segera menindaklanjuti keluhan mereka dan memberikan perhatian yang layak, mengingat mereka juga bagian dari masyarakat yang berhak atas kesejahteraan. 

Desa Bukit Kayangan hanyalah satu dari sekian banyak contoh nyata daerah yang masih hidup dalam keterbatasan fasilitas dasar, seolah terabaikan oleh negara. Hal ini menjadi tamparan keras, ke mana negara sebagai pengurus urusan rakyat? Bagaimana mungkin kebutuhan mendasar seperti air dan listrik yang seharusnya mudah diakses justru menjadi barang mewah bagi sebagian rakyatnya?

Negara Gagal Menjadi Pengurus

Air dan listrik adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia. Tanpa air, manusia tidak bisa bertahan hidup. Tanpa listrik, kehidupan modern lumpuh. Maka pertanyaannya, di mana negara? Mengapa rakyat masih harus merangkak dalam kegelapan dan kekeringan? Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya Karena negara berjalan dengan sistem kapitalisme, di mana pengelolaan SDA diserahkan kepada swasta atau asing.

Negara hanya mendapatkan remah-remah dari royalti, sementara pemilik modal meraup untung besar, dan rakyat hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa negara telah gagal menjalankan fungsi mendasarnya. Dalam sistem kapitalisme sekuler, tata kelola sumber daya alam dan energi (SDAE) lebih banyak diserahkan kepada swasta atau korporasi besar. 

Air dan listrik yang semestinya menjadi hak rakyat justru dikuasai oleh para kapitalis yang menjadikannya komoditas untuk meraih keuntungan. Maka tidak heran jika distribusi layanan menjadi tidak merata. 

Di daerah perkotaan dan pusat industri, fasilitas ini mengalir lancar, sementara pelosok desa harus menunggu bertahun-tahun atau bahkan selamanya untuk bisa menikmati layanan serupa. 

Listrik padam bergiliran, air keruh dan sering mati, atau harus membeli air dengan harga tinggi sudah menjadi kisah umum yang diderita rakyat, sementara negara justru sering berdalih kekurangan anggaran atau ketergantungan pada investasi asing.

Negara dalam sistem kapitalisme berperan sebagai fasilitator kepentingan korporasi, bukan pelayan rakyat. Pemerintah membuka pintu lebar-lebar bagi investor tambang, memberikan izin konsesi puluhan tahun, tapi tak sedikit pun memastikan kehidupan rakyat sekitar tambang menjadi lebih baik. Ironisnya, warga Bukit Kayangan justru hidup di tengah kemewahan SDA yang bahkan mereka tak bisa nikmati. Melainkan menelan sisa-sisa kerusakan akibat tambang.

Bukit Kayangan bukan satu-satunya. Di berbagai wilayah lain, rakyat mengalami hal serupa: listrik padam bergilir, air keruh, bahkan mahal. Negara tak punya mekanisme kuat untuk menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat secara merata. Karena memang dalam sistem sekuler, negara tidak diwajibkan melayani rakyat, melainkan mengatur urusan ekonomi agar terus berputar menguntungkan para kapitalis.

Solusi Islam: Negara Pelayan Rakyat

Berbeda dengan kapitalisme, dalam Islam, air dan energi adalah harta milik umum yang tidak boleh diprivatisasi oleh individu atau perusahaan. 

Rasulullah bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api (energi).” (HR. Abu Dawud). 

Dalam hadits ini, Rasulullah dengan jelas menyatakan bahwa air dan api (yang di masa kini dapat dipahami juga sebagai sumber energi seperti listrik) merupakan hak kolektif umat. Tidak boleh ada pihak yang menguasainya secara eksklusif untuk kepentingan pribadi, apalagi menjadikannya alat untuk meraup keuntungan dari penderitaan rakyat.

Islam menempatkan negara sebagai pelayan rakyat, bukan mitra korporasi. Seorang pemimpin dalam Islam adalah raa’in, yakni penggembala dan penjaga kepentingan umat. 

Rasulullah bersabda, “Imam (pemimpin) adalah penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang digembalakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Negara Islam yang dipimpin oleh Khalifah memiliki kewajiban untuk menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk air bersih, listrik, makanan, pendidikan, dan keamanan. Tidak boleh ada satu pun warga negara yang tertinggal dalam pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk mereka yang tinggal di pelosok terpencil.

Sejarah mencatat bagaimana Khalifah Umar bin Khattab ra. pernah memikul sendiri karung gandum untuk diberikan kepada rakyatnya yang kelaparan, karena ia menyadari bahwa amanah sebagai pemimpin adalah tanggung jawab besar di hadapan Allah Swt. 

Dalam sistem Khilafah, pengelolaan sumber daya tidak dikuasai oleh swasta atau asing, tapi sepenuhnya dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan yang merata. Negara tidak akan diam melihat rakyatnya hidup tanpa listrik dan air bersih, karena itu adalah tanggung jawab langsung yang harus ditunaikan dengan penuh amanah.

Islam juga mengatur secara rinci pengelolaan sumber daya alam. Dalam kitab Nizham Iqtishadi fi al-Islam karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa negara harus mengelola sumber daya milik umum seperti air, energi, dan tambang strategis, dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan kebutuhan umat, bukan untuk memenuhi kantong para kapitalis. Dengan sistem ini, negara mampu membangun infrastruktur energi dan air hingga ke pelosok, tanpa harus bergantung pada utang luar negeri atau investasi asing.

Kesejahteraan yang adil dan merata hanya akan tercapai bila sistem yang digunakan adalah sistem Islam yakni sistem aturan yang turun dari Allah. Sistem kapitalisme telah terbukti gagal memberikan keadilan dan pemerataan layanan. Sebaliknya, Islam hadir dengan solusi sistemik yang tidak hanya menyelesaikan masalah di permukaan, tapi langsung ke akar persoalan yakni siapa yang mengelola dan untuk siapa sumber daya itu digunakan. Dan ketika Islam diterapkan secara kaffah, rakyat tidak akan lagi bertanya-tanya ke mana negara saat mereka kesulitan. Sebab, negara Islam akan selalu hadir sebagai pelindung dan pelayan sejati bagi seluruh umat.

Kini sudah saatnya umat menyadari bahwa penderitaan yang mereka alami adalah buah dari sistem rusak yang selama ini diterapkan. Tidak cukup hanya mengeluh soal layanan buruk atau berharap kepada kebijakan tambal sulam. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik menuju sistem yang benar-benar menyejahterakan. Itulah sistem Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Sebuah sistem yang menjadikan rakyat sebagai prioritas, bukan korban kebijakan. Sebuah sistem yang memuliakan manusia, bukan menjadikannya objek eksploitasi. Wallahualam bissawab.

Oleh : Rizky Saptarindha A.md (Aktivis)

Terkini