Share ke media
Opini Publik

Tapera, Tabungan kok Maksa?!

10 Jun 2024 09:03:05445 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : Tribunews.com - Penjelasan BP Tapera, Soal Ribut-ribut Simpanan Diambil dari Tabungan Karyawan - 29 Mei 2024

Samarinda - Ada sebuah ungkapan berseliweran di sosial media yang berbunyi , ‘Ketika si miskin mengambil uang si kaya disebut pencuri, si kaya mencuri uang si miskin disebut bisnis, pejabat mengambil uang rakyat disebut Koruptor, ketika negara mengambil uang rakyat disebut kebijakan’. Rasanya ungkapan ini pas dengan kondisi warga Indonesia akhir akhir ini atau sebenarnya sudah dari dulu, tapi mungkin baru dirasakan sekarang karena bertubi tubinya ‘kebijakan’ yang sudah dan akan dirilis. Sudahlah PPN akan naik menjadi 12%, UKT berlipat ugal – ugalan, iuran BPJS naik dan diubah berdasarkan besaran penghasilan bukannya fasilitas pelayanan, dan yang terhangat, TAPERA, Tabungan Perumahan Rakyat. Dimana semua pekerja wajib ikut dan gajinya suka tidak suka harus rela dipotong 3%, tidak hanya ASN, tetapi pegawai swasta hingga penghasilan tidak tetap seorang Ojol pun akan ikut dibidik.

Dalam PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), peserta Tapera adalah pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta. (detikproperti, 27 Mei 2024)

Program yang tadinya hanya diperuntukkan bagi ASN diperluas untuk pekerja swasta dan pekerja mandiri. Dijelaskan Moeldoko, saat ini pemerintah menghadapi masalah kurang pasok rumah, di mana masih banyak orang yang belum memiliki rumah.

“Karena ada problem backlog. Problem backlog yang pada saat ini ada 9,9 juta masyarakat Indonesia yang tidak punya rumah, Ini data BPS,” tuturnya. (Detikproperti, 1 Juni 2024)

Status kepesertaan Tapera berakhir di masa pensiun bagi pekerja, dan bagi pekerja mandiri ketika mencapai usia 58 tahun, ketika peserta meninggal dunia, atau peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama lima tahun berturut-turut. Ketika kepesertaannya berakhir, si peserta berhak dapat pengembalian simpanan dan, paling lambat tiga bulan setelah masa kepesertaannya dinyatakan berakhir. Peserta Tapera sendiri dibagi menjadi 2 kelompok, peserta Tapera MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) dan non-MBR. Manfaat yang diterima peserta Tapera MBR adalah Kredit Renovasi Rumah (KRR) dan Kredit Bangun Rumah (KBR). Selain itu, mereka juga mendapatkan akses pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga di bawah suku bunga pasar.

Lalu bagaimana dengan pekerja non-MBR?

Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menyebut, pekerja non MBR dan tetap menjadi peserta tapera dengan membayar iuran, disebut sebagai penabung mulia. Heru menyebut, manfaat pasti yang akan didapatkan oleh penabung mulia adalah hasil tabungan dan bunga deposito. Dikatakan Heru, pihaknya kini tengah menggodok beberapa manfaat lain bagi peserta Tapera golongan tersebut. (Detikproperti, 1 Juni 2024)

Tentu program ini mendapatkan penolakan dari masyarakat, bukan karena tidak paham, justru karena semakin memahami aturan dalam program ini semakin keras reaksi penolakannya. Bagaimana tidak, pemerintah yang seharusnya meringankan beban hidup masyarakat justru sebaliknya, tanpa potongan 3% (2,5% pekerja dan 0,5% pemberi kerja)  saja para pekerja sudah cukup kewalahan memenuhi keperluan dapur . Gaji para pekerja juga sudah dipotong berbagai program terdahulu seperti pajak penghasilan (5-35%), Iuran BPJS Kesehatan (1% pekerja + 4% perusahaan), jaminan hari tua (2% + 3,7% perusahaan), jaminan pensiun(1% + 2% perusahaan), jaminan kematian (0.3%). Belum lagi beban hidup semakin berat dengan rencana kenaikan listrik hingga BBM. Para netizen di sosial media pun menunjukan aksi protesnya dengan mempelesetkan kepanjangan tapera menjadi, ‘Tabungan Pemaksaan Rakyat’, ‘Tabungan Pemalakan Rakyat’, hingga memberikan tagline program tapera yang berbunyi, ‘Meninggal duluan, beli rumah kemudian’. Para pekerja dari kalangan buruh bahkan bersiap untuk melakukan unjuk rasa besar – besaran.

Konsep program ini pun dinilai ambigu, pemerintah tidak menjelaskan seperti apa bentuk, ukuran, dan lokasi rumah dalam program Tapera. Sementara kita semua tahu bahwa harga properti apalagi rumah semakin melambung, rumah tipe 21 saja harganya berkisar 150 hingga 200 juta, inilah hal utama yang menyebabkan banyak orang yang kesulitan membeli rumah, Pemerintah harusnya membuat kebijakan untuk menurunkan harga lahan dan bangunan, bukan program simpanan yang abu - abu. Bahkan dengan perhitungan sederhana, pekerja yang bergaji 10 juta, dengan potongan 3% tiap bulan, dan pensiun dalam 20 tahun kedepan, Tabungan tapera yang terkumpul sebanyak 72 juta. Rumah apa yang dapat dibeli dengan harga 72 juta? Kalau ternyata manfaat peserta tapera tadi berupa keringanan dalam kredit rumah, artinya para pekerja masih harus menanggung biaya cicilan rumah beserta bunga atau riba, sekaligus mendapat potongan gaji 3% setiap bulannya. Jadi, wajar jika Tapera tidak mendapat respon positif dari masyarakat, Program ini seperti terobosan baru untuk mempersulit hidup yang sudah sulit.

Lain halnya jika rumah dalam program Tapera sudah berwujud dan dapat ditinggali lalu gaji si pekerja dipotong 3% sebagai pembayaran atau tabungan ke pemerintah, mungkin masih dapat diterima. Lagipula sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan rumah secara terjangkau ataupun gratis, tanpa pemaksaan potongan. Pemerintah terkesan sedang terdesak mencari tambahan kas, hingga harus mengumpulkan uang rakyat yang kalau dikumpulkan potensinya mencapai trilyunan, tapi tak ingin menyebutnya sebagai pajak. Lalu bonusnya, pekerja yang menolak potongan Tapera diancam mendapat sanksi. Loh, tabungan, kok maksa?!

Masyarakat juga seperti kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, mengingat program simpanan jangka panjang serupa yang berakhir menjadi bahan korupsi para pejabat. Lihatlah kembali kasus korupsi Asabri, Jiwasraya dan Taspen. Ditambah sistem kapitalisme sekuler yang diusung dalam kehidupan saat ini memberikan ruang yang leluasa kepada para tikus berdasi, pejabat tidak malu malu menggunakan uang yang bukan miliknya untuk kepentingan sendiri bahkan mengajak seluruh keluarganya hingga ke anak cucu. Mereka tidak mengenal halal dan haram. Hukuman bagi para pelaku KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) pun sama sekali tidak menjerakan, jauh lebih menakutkan hukuman maling ayam daripada hukuman koruptor yang merugikan negara trilyunan rupiah. Sangat wajar jika kita khawatir uang yang di ‘tabung’ tadi menghilang begitu saja.

Dalam sistem kapitalisme. Sudah menjadi hal yang biasa ketika Penguasa yang seharusnya menjadi pelayan rakyat malah memeras dan mencari untung dari rakyat, dengan berbagai macam dalih kebijakan. Sementara itu, hasil SDA yang berlimpah yang seharusnya bisa memenuhi kebutuhan dasar masyarakat malah lebih banyak masuk ke kantong pemilik modal, pengusaha sekaligus penguasa, dan lingkaran oligarki. Rakyat hanya kebagian pahitnya berbagai macam pungutan dan efek kerusakan alam.

Sementara itu, dalam Islam pemimpin bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar, salah satunya rumah. Jika tidak bisa memenuhi secara gratis maka minimal membuat kebijakan agar harga pembelian lahan dan bangunan menjadi sangat terjangkau, tanpa pemaksaan potongan penghasilan. Dalam peradaban Islam, rumah bukan hanya sekedar tempat tinggal, tetapi juga merupakan kehormatan seseorang yang wajib dijaga dan dilindungi, Pemimpin atau Khalifah tidak hanya mengatur tentang penyediaan yang mudah, murah atau gratis. Tetapi juga membuat kebijakan tentang lokasi, ketinggian rumah, ventilasi, jumlah kamar hingga memastikan keamanan dan privasi.  Seorang Pemimpin yang bertakwa kepada Allah dan sadar kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas amanah jabatan yang diemban,  tidak akan menjadikan kebutuhan dasar seperti pangan termasuk didalamnya bahan bakar, kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal sebagai ajang berbinis untuk mengeruk keuntungan.

Nabi Muhammad SAW dalam riwayat Muslim sudah memperingatkan, dari ‘Aisyah berkata, Rasulullah bersabda, “Ya Allah, barang siapa  yang mengurusi urusan umatku, lantas ia membuat susah mereka, maka susahkanlah ia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia mengasihi mereka, maka kasihilah ia.”

Kebijakan nir empati berbalut simpanan jangka panjang yang lebih terasa seperti pajak ini merupakan wajah buruk dan rusak kapitalisme yang untuk kesekian kalinya ditampakkan. Apa kita belum juga bosan dengan kerusakan yang terus menggerogoti kehidupan sejak selama 1 abad lebih sistem ini diterapkan? Sudah seharusnya kita membuang sistem yang korup ini. Hanya dengan Islam Kaffah, pemenuhan hak dan kewajiban tempat tinggal dapat terealisasi dengan tepat dan mensejahterakan. Sistem Islam akan mengembalikan fungsi pemimpin sebagai pe-ri’ayah (pelayan / pengurus rakyat) yang bertugas memenuhi hak hak primer sandang, pangan dan papan. Bukan pemimpin hasil bentukan Kapitalisme sekuler yang condong memihak investor asing dan lokal apalagi pemimpin yang memposisikan dirinya sebagai pemilik modal yang memandang rakyat sebagai pasaran bisnisnya. 

Wallahu a’lam bisawab.

Oleh : Ana Fitriani