Share ke media
Opini Publik

Toleransi Ala Moderasi, Yakin Jadi Solusi?

05 Dec 2024 02:20:3790 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : muslimahnews.net - Toleransi ala Moderasi, Mampukah Menjadi Solusi? - 21 April 2022

Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Balikpapan menyelenggarakan kegiatan pengembangan Kampung Moderasi sebagai upaya pelaksanaan penguatan moderasi sekaligus mendukung pencapaian sasaran penguatan program

Kegiatan dilaksanakan di Aula Kecamatan Balikpapan Tengan pada Senin (25/11/2024), yang dihadiri oleh Kepala Kantor Kemenag Balikpapan Masrivani, Kasi Kesos Kecamatan Balikpapan Tengah, Lurah GSI, TNI, Polri, LPM, dan ketua RT.

Narasumber dari kegiatan ini yaitu Abi Muhammad dari Badan Intelijen Negara (BIN) dan Sugianto yang merupakan Dekan FKIP Uniba. 

Kepala Kantor Kemenag Balikpapan Masrivani mengatakan, pelaksanaan kampung moderasi adalah penggambaran masyarakat yang majemuk. Walaupun suku dan agama berbeda-beda, namun tetap mempunyai tingkat kerukunan yang baik.

Menurut Masrivani, daerah-daerah yang punya potensi seperti itu harus dikembangkan. Sudah ada dua tempat yang dianggap layak sebagai kampung moderasi yaitu Kecamatan Balikpapan Tengah dan Balikpapan Utara. Pihak Kemenag telah menyosialisasikan kepada masyarakat untuk menumbuhkan nilai-nilai keberagaman. Tentunya tokoh-tokoh masyarakat mulai dari RT, LPM, dan lainnya perlu bersama-sama memiliki kesadaran sehingga semangat moderasi dapat diraih dari segala aspek.

Masrivani berharap, dengan adanya dua daerah yang ditunjuk sebagai pilot project kampung moderasi di Balikpapan, akan muncul kesadaran semangat untuk bersama-sama menjaga dan membangun Kota Balikpapan untuk selalu kondusif dan nyaman dihuni bagi seluruh masyarakat yang tinggal di Balikpapan.

Begitupun Dekan FKIP Uniba Sugianto menyatakan, untuk melawan intoleransi dan radikalisasi dengan menghormati kebebasan beragama dan berpendapat yang akan menghindari perilaku diskriminatif memecah belah bangsa.

Sedangkan dari BIN, Abi Muhammad menyampaikan kontra propaganda paham radikal melalui moderasi. Ia melihat pentingnya upaya kontra radikal sebagai langkah mencegah penyebaran paham yang mampu memicu berkembangnya radikalisme di masyarakat.

Yakin Jadi Solusi?

Program Kampung Moderasi yang diimplementasikan untuk penguatan moderasi beragama sejatinya tak bisa menjadi solusi untuk menumbuhkan kerukunan antar warga yang beragam suku dan agamanya. Mengapa? Ini karena moderasi sebenarnya adalah upaya dari Barat untuk mengaburkan Islam di tengah masyarakat. 

Wacana moderasi beragama berawal dari kebijakan luar negeri AS setelah tragedi 11 September 2001 yang berujung pada slogan “war on terorrism”. Wacana ini terus bergulir hingga pada Desember 2017, Resolusi Majelis Umum PBB mendeklarasikan 2019 sebagai tahun “International Year of Moderation” dalam upaya mempromosikan moderasi sebagai cara untuk mencegah munculnya ekstremisme dan terorisme dan mempromosikan nilai-nilai dialog, toleransi, pemahaman, dan kerja sama. 

Dengan melihat awal kemunculannya, jelas bahwa ide moderasi ini berasal dari Barat dan tentu berujung pada kepentingan mereka.

Hal ini dibuktikan dengan penemuan adanya moderasi yang menjadi proyek dari Barat pada tahun 2007 yang disusun oleh RAND Corporation, sebuah badan kajian strategis yang didukung oleh Kementerian Pertahanan AS (Pentagon). 

Proyek ini digencarkan oleh Barat terhadap negeri-negeri Muslim agar Barat tetap kukuh menancapkan penjajahannya di negeri-negeri Muslim terutama di sistem politik dan ekonominya.

Barat menginginkan umat Islam memiliki sikap yang pro dengan demokrasi dan tidak terlalu fanatik dengan syariat Islam. Tentunya dalam menyukseskan proyek ini, Barat menggandeng berbagai kalangan intelektual, terpelajar, tokoh masyrakat dan ulama. Bahkan agar terkesan moderasi berasal dari Islam, Barat pun mencomot istilah dalam Islam seperti istilah ummatan washatan yang bermakna dalam hal beragama umat Islam tidak boleh terlalu esktrim kiri dan ekstrim kanan melainkan berada di tengah-tengah.

Sungguh hal ini adalah narasi yang kabur dan menyesatkan umat Islam.

Oleh karenanya, tidak heran jika moderasi beragama memberikan cara pandang Barat yang sekuler (memisahkan agama dari kehidupan), bukan cara pandang yang seharusnya bagi seorang muslim. Hal ini terlihat dari empat indikator moderas, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi (yang tidak selaras dengan cara pandang Islam). Akibatnya, berbagai tradisi dan perilaku yang bertentangan dengan syariat Islam tidak boleh digugat dengan dalih toleransi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berperilaku. 

Moderasi juga digadang-gadang untuk melawan kelompok yang dianggap radikal menurut versi mereka yaitu paham keagamaan Islam yang ditujukan pada kelompok Islam yang menolak keras sekulerisme ala Barat.


Namun hal ini juga menambah masalah baru karena melahirkan generasi-generasi yang takut belajar Islam secara kaffah (menyeluruh) dengan dalih tidak mau menjadi ekstremis, radikal, ataupun teroris. Alhasil, banyak orang tua berpesan agar anak-anaknya jangan terlalu fanatik dengan mengikuti kajian-kajian Islam di luar kegiatan sekolah ataupun kampus. Pada akhirnya hal ini menyebabkan mereka tetap bodoh terhadap agamanya.

Dengan demikian, moderasi hanyalah kedok dari Barat untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya. Islam hanya dipandang sebagai agama yang mengatur ritual dan akhlak saja dan nampak tak dibutuhkan perannya untuk mengatur kehidupan. Jelas, ini merupakan kesesatan yang nyata dan upaya untuk menghalangi kebangkitan Islam yang pada akhirnya menyebabkan umat Islam lebih memilih pemahaman ala Barat dengan toleransi dan perdamaian dibanding solusi Islam.

Islam Tidak Mengenal Moderasi

Islam tidak memerlukan penambahan ajaran baru apalagi ajaran tersebut justru menyesatkan akidah penganutnya. Dalam hal persatuan manusia, Islam telah memerintahkan agar manusia segera berdamai ketika berselisih, tidak boleh mengolok-olok atau merasa mulia dengan golongannya sendiri. (Lihat QS Al-Hujurat ayat 9-11).

Islam juga bukan agama yang sekedar mengatur ritual dan akhlak semata, melainkan Islam adalah agama sekaligus ideologi yang mengatur kehidupan manusia yang menyangkut masalah ekonomi, pemerintahan, sosial, pendidikan, peradilan, sanksi hukum dan politik luar negeri. Oleh karenanya, selama belasan abad Islam diterapkan dalam sebuah sistem politik, kejayaan menyelimuti di setiap negerinya. Toleransi tak pernah diserukan atau diajarkan karena agama Islam itu sendiri lah yang sudah toleran kepada umat agama lain. 

Hal ini dibuktikan dengan catatan sejarah yang terakam di kitab-kitab sejarah, seperti Pada masa Rasulullah saw., beliau dalam Piagam Madinah menyebutkan butir-butir toleransi seperti sikap saling menghormati di antara agama yang ada, tidak saling menyakiti, serta harus saling melindungi. Pernah suatu ketika ada yang mengiringi jenazah Yahudi, beliau saw. berdiri untuk menghormatinya. Ketika beliau ditanya tentang membantu orang Yahudi, beliau menjawab boleh dan berpahala.

Begitupun pada masa kekhalifahan Abbasiyah, kekuasaan umat Islam saat itu sudah meliputi tiga benua.

Para penganut keyakinan animisme dan dinamisme di pedalaman Afrika, hingga kaum musyrik di Asia Utara dan Asia Tengah tetap mendapatkan perlakuan baik dari pemerintahan Islam, termasuk kaum Paganis di Steppa Eurasia yang terbiasa hidup nomaden. Bahkan, saat Islam tersebar di antara kaum Paganis itu, mereka berlomba menjadi para ksatria Islam dengan bergabung dalam akademi-akademi militer yang dibangun oleh para khalifah Abbasiyah. 

Dengan demikian, hanya Islam lah yang seharusnya menjadi tumpuan umat Islam dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di negerinya, tak terkecuali menumbuhkan kerukunan. 

Umat Islam harus memahami bahwa berbagai konflik yang ada hari ini sesungguhnya dipelihara oleh Barat agar Barat tetap bisa merampas kekayaan alam di negeri Muslim. Lantas, dimanakah mata dan hatimu wahai umat Islam dalam memandang agamamu? 

Allah Taala berfirman: “Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (TQS Al-Hujurat ayat 13). Wallahu ‘alam bis shawab.

Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti S. Ag