Samarinda - Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Bayu Satria Utomo menyatakan mereka menolak KUHP karena dinilai memuat sejumlah pasal bermasalah, khususnya yang mengekang kebebasan berpendapat. Dia menyatakan akan melakukan gelombang unjuk rasa tidak hanya di Jakarta, namun juga di sejumlah wilayah di Indonesia.
Pasal 256 menjadikan mahasiswa rentan dipidana. Bayu mengungkap satu pasal bermasalah yang menjadi sorotan mereka. Pasal itu tentang aksi unjuk rasa yang tanpa pemberitahuan dapat dipidana selama 6 bulan penjara. Bayu bilang tanpa pasal tersebut mereka sudah seringkali mendapatkan tindakan represif dari aparat.
Pemidaan itu termuat pada Pasal 256 yang berbunyi, ‘Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II’(bantennews.co.id, 7/12/22).
Bersifat unsur kumulatif
Terpisah, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti Azmi Syahputra melihat rumusan norma Pasal 256 KUHP baru secara utuh. Dia memahami masih ada kekhawatiran masyarakat terkait pengaturan pemidanaan atas hak menyampaikan pendapat di muka umum.
Dia menerangkan unsurnya bersifat kumulatif. Malahan termasuk dalam delik materil yang menitikberatkan pada timbulnya akibat yang dilarang. Karenanya, mesti dibaca klausul Pasal 256 secara utuh keseluruhan. Setidaknya terdapat 3 unsur dalam Pasal 256. Pertama, tanpa ada pemberitahuan. Kedua, unjuk rasa. Ketiga, timbul kerusuhan. Dengan demikian, unsur dalam Pasal 256 bersifat kumulatif yang harus dibuktikan satu per satu.
Menurutnya, bila terdapat demonstrasi, unjuk rasa maupun pawai tanpa adanya pemberitahuan, maka ketentuan aturan yang diterapkan menggunakan Pasal 15 UUU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sanksinya, dibubarkan, bukan malah pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 256 KUHP. “Karena Pasal 256, harus terpenuhi ke-3 unsur tersebut diatas,” ujarnya.
Kritik Publik
Mencermati hal tersebut, pasal kontroversi UU KUHP memang patut kita kritisi.
Pertama, berpotensi multitafsir. Kedua, mengancam kebebasan berpendapat. Bagi publik, pasal-pasal tersebut akan menghalangi hak publik dalam menyampaikan pendapat dan aspirasinya kepada penguasa. Sebagaimana, pasal 256 yang menyatakan demonstrasi tanpa izin akan dipidana penjara paling lama 6 bulan.
Ketua YLBHI M. Isnur sangat menyayangkan adanya delik pidana bagi demonstrasi tanpa izin sebab banyak demonstrasi yang dilakukan spontan sebagai bentuk aksi. Selain itu, kalimat “mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara” juga multitafsir. Selama ini, aparat kerap memakai alasan kemacetan jalan untuk menindak demonstran.
Ketiga, mengatur aspirasi rakyat untuk bicara. Jika rakyat diatur sedemikian rupa dengan beraneka pasal yang siap menjerat jika mereka salah bicara, bagaimana dengan penguasa? Adakah hukuman bagi penguasa yang menghina dan mengabaikan hak-hak rakyat?
Penguasa itu semestinya melindungi, bukan memenjarakan rakyat. Tidak ada asap tanpa api. Tidak akan ada kritik jika kinerja penguasa benar dan amanah. Rakyat adalah objek kebijakan. Bukankah sudah sewajarnya apabila rakyat marah, mengkritik, lalu menyampaikan aspirasinya? Anehnya, kritik rakyat justru sering dituding menghina. Lagi-lagi, rakyatlah yang paling terdampak pasal-pasal tersebut.
Hipokrisi Demokrasi
Di balik demokrasi, penguasa sedang mengebiri suara rakyat. Pasal kontroversi dalam UU KUHP hanyalah sekelumit fakta betapa hipokritnya demokrasi tentang kebebasan berpendapat.
Menurut demokrasi, rakyatlah pemilik kedaulatan. Akan tetapi, realisasinya, rakyat menjadi korban kedaulatan kekuasaan. Katanya lagi, dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan. Namun, faktanya, suara rakyat berdikari pada pemungutan suara ketika pemilu saja.
Demokrasi juga disebut menjunjung tinggi hak publik. Faktanya, pemimpin hasil demokrasi malah mengeliminasi hak rakyat dalam mendapatkan pelayanan terbaik. Kebijakan penguasa kerap berlawanan dengan kehendak rakyat. Misalnya, rakyat ingin harga-harga turun, kenaikan tarif dan berbagai kebutuhan pangan justru tidak terbendung. Rakyat ingin akses kesehatan dan pendidikan murah, tetapi berbagai pajak dan iuran malah memburu mereka.
Keteladanan para Khalifah
Kritik terhadap penguasa adalah tabiat kaum muslim dalam melakukan nahi mungkar dan muhasabah lil hukam. Kritik yang dimaksud ialah meluruskan kebijakan penguasa agar sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Adapun menghina fisik atau pribadi penguasa, Islam melarangnya secara tegas karena bentuk fisik seseorang adalah sebaik-baik ciptaan Allah Taala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Al-Fatawa mengatakan, “Wajib bagi setiap orang yang memerintahkan kebaikan dan mengingkari kemungkaran berlaku ikhlas dalam tindakannya dan menyadari bahwa tindakannya tersebut adalah ketaatan kepada Allah.
Ia berniat untuk menegakkan kebenaran, bukan untuk mencari kedudukan bagi diri dan kelompok, tidak pula untuk melecehkan orang lain.” (Muslimah News, 13/10/2020)
Memang, terkadang kritik itu pahit, tetapi pahitnya memberikan kesembuhan layaknya obat bagi orang sakit. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan sehat jika amar makruf nahi mungkar senantiasa dilestarikan, saling menasihat dalam kebaikan, dan mencegah kerusakan yang lebih besar.
Khulafa pada masa kekhalifahan Islam telah memberikan teladan terbaik mereka sebagai penguasa kaum muslim. Sebut saja Khalifah Umar bin Khaththab yang lebih senang dikritik rakyatnya. Ketika seorang perempuan tampil berani mengkritiknya perihal mahar, beliau justru berterima kasih kepadanya.
Begitu pula Khalifah Hisyam bin Abdul Malik yang legawa dikritik salah satu ulama tabiin, Atha’ bin Rabbah. Beliau mengingatkan Khalifah tentang bantuan pemerintah untuk penduduk Najd, Hijaz, dan daerah perbatasan. Atha’ juga mengingatkannya perihal jizyah bagi zimi agar ditegakkan sesuai batas kesanggupannya. Khalifah menerimanya dengan lapang dan menjalankannya sesuai pesan sang ulama. Ada pula kisah seorang Arab Badui yang menasihati Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik tentang bahayanya pejabat yang memiliki sifat ABS (Asal Bapak Senang).
Sungguh indah apabila pemimpin saat ini bersikap lapang dada dan mau memperbaiki kesalahan tatkala rakyat mengkritiknya. Bukan bertingkah sebaliknya, menggunakan kekuasaan untuk membungkam siapa saja yang menentanginya.
Dalam Islam, muhasabah atau kritik kepada penguasa harus membudaya dan senantiasa terjaga dari masa ke masa. Sistem Khilafah sangat terbuka dengan kritik dan aduan. Sistem
Khilafah bukanlah sistem antikritik. Siapa pun bebas mengkritik penguasa. Bukankah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa adalah sebaik-baik jihad? Rasulullah saw. bersabda, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Daud).
Oleh : Hanik Syukrillah, M.Si
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isiredaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru