Samarinda - Kasus HIV di Kota Samarinda, kembali mengkhawatirkan. Sejak Januari hingga Juli 2025, Dinkes Samarinda memeriksa 20.613 orang. Dari jumlah itu, ditemukan 223 kasus baru, sementara 220 orang masih menjalani pengobatan. Masih menurut data 2025, sebanyak 63 orang positif HIV yang telah berkembang menjadi AIDS meninggal dunia (Kaltimpost.id, 11/08/2025).
Kepala Dinkes Samarinda, Ismed Kusasih menyadari bahwa, melawan HIV bukan sekadar soal menyediakan obat atau alat pemeriksaan. Lebih dari itu, dia menekankan pentingnya keterbukaan dan kolaborasi lintas pihak. Langkah awal, kata Ismed, adalah memetakan faktor risiko penularan. Dari sana, upaya menghapus diskriminasi terhadap orang dengan HIV (ODHIV) menjadi agenda yang tak kalah penting.
HIV kini masuk dalam 12 standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. Posisi ini menegaskan urgensi penanganan HIV, sejajar dengan layanan untuk ibu hamil, bayi, balita, usia sekolah, usia lanjut, hipertensi, diabetes melitus, gangguan jiwa berat, dan tuberkulosis.
Atasi Sumber Masalahnya
Peningkatan kasus HIV di Samarinda memang sangat memprihatinkan. Hal ini menunjukkan bahwa virus mematikan ini masih menjadi masalah kesehatan, semakin menyebar luas, dan dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani. Maka sudah seharusnya, langkah awal dan utama adalah melakukan pencegahan dengan menyelesaikan akar persoalannya.
HIV bukanlah kasus yang berdiri sendiri atau muncul begitu saja. Di balik terjadinya kasus HIV ada beragam faktor penyebab yang mayoritasnya adalah pergaulan bebas. Di antara sebab penularannya pun berawal dari aktivitas-aktivitas negatif seperti bergonta-ganti pasangan seksual hingga hubungan seksual sejenis.
Terlebih, penyakit inipun tersebar luas karena prinsip kebebasan yang sengaja disuntikkan ke tubuh umat Islam. Kebebasan yang dipayungi oleh sistem sekulerisme justru memberikan ruang sehingga pergaulan bebas marak terjadi, termasuk keberadaan kaum pelangi. Ironisnya, saat kasus HIV terus meningkat, sistem ini cenderung hanya bereaksi saat masalahnya sudah muncul, namun tidak terlihat upaya pencegahan yang merujuk pada akar masalah. Ditambah, tidak adanya hukuman yang tegas bagi pelaku zina, homo, dan PSK, membuat kasus HIV semakin menjamur.
Maka, sistem sekulerisme liberalisme Inilah yang harusnya dijauhi. Bukan sekedar menjauhi penyakit dan orangnya yang sudah terjangkit. Sebab, sistem tersebut merupakan sumber masalahnya yang menyebabkan berbagai kerusakan, termasuk pergaulan bebas dan penyimpangan seksual dengan segala dampaknya seperti HIV yang semakin subur dan mengancam kehidupan.
Islam, Solusi Tuntas
Islam memiliki strategi yang tegas untuk mengatasi masalah penyebaran HIV dan kaum LGBT. Bahkan strategi ini sekaligus sebagai pencegah munculnya penyakit menular tersebut. Gambaran strategi yang diterapkan sebagai berikut, pertama, Islam memberlakukan kewajiban menutup aurat baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dengan tertutupnya aurat, nafsu akan lebih terkendali sebab “pemandangan” yang dapat menggoda telah tertutupi.
Kedua, memberlakukan larangan ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan wanita), khalwat (berdua-duaan antara laki-laki dan wanita) kecuali ada hajat syar’iyah yang membolehkannya, dan larangan pacaran. Islam telah memberi ketentuan agar kehidupan laki-laki dan perempuan harus terpisah, baik di tempat khusus maupun di tempat umum.
Ketiga, Islam memberlakukan larangan memproduksi, mengkonsumsi, dan mendistribusikan barang dan jasa yang bisa merusak masyarakat. Seperti pornografi dan pornoaksi yang marak dijumpai baik di televisi, koran, majalah, baliho, dan media sosial yang dapat membangkitkan naluri seksual dan memberi jalan pada perzinaan. Oleh sebab itu harus dilarang tanpa kecuali.
Keempat, menerapkan sistem hukum dan persanksian Islam untuk memberantas perilaku yang beresiko menyebabkan penyebaran HIV (seks bebas, perilaku seks menyimpang, LGBT, dan sebagainya). Sistem persanksian yang ditegakkan dapat menimbulkan efek jera. Terhadap pelaku zina misalnya, diberlakukan hukum rajam sampai mati dan cambuk seratus kali. Pelaku lesbi disanksi dengan hukum ta’zir (jenis hukuman diserahkan kepada qadhi, bisa cambuk, penjara, dll). Para pelaku homoseksual disanksi dengan hukuman mati. Sesuai dengan sabda Nabi Saw, “Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaumnya Nabi Luth, maka bunuhlah keduanya.” (HR Al-khamsah, kecuali an-Nasa’ i).
Adapun bagi yang tertular penyakit HIV dan bukan pelaku zina, seperti ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya yang heteroseksual atau anak-anak dan orang lain yang tertular melalui jarum suntik, dan sebagainya. Maka, hal itu merupakan masalah kesehatan yang menjadi hak masyarakat dan negara wajib menyediakan layanan kesehatan yang terbaik bagi mereka. Mulai dari perawatan, obat-obatan hingga layanan pengobatan. Negara Islam juga akan melakukan riset dengan serius untuk menemukan obat yang bisa menanggulangi virus HIV.
Demikianlah cara Islam mengatasi masalah HIV hingga tuntas ke akar-akarnya. Semua itu tentu hanya bisa diwujudkan jika negara menerapkan Islam dalam seluruh bidang kehidupan sehingga mampu menutup semua celah yang memungkinkan terjadinya pergaulan bebas hingga penularan infeksi HIV. Waalahua’lam bishshawab
Oleh : Ita Wahyuni, S.Pd.I. (Pemerhati Masalah Sosial)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru