Tenggarong – Setelah meninggalnya Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura XX Sultan Haji Adji Muhammad Salehuddin II, rencana pihak Kesultanan akan melakukan penabalan (penobatan) Putera Mahkota Haji Adji Pangeran (HAP) Praboe Anoem Soerya Adiningrat sebagai Sultan yang ke 21.
Juru bicara Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura Haji Adji Pangeran (HAP)Ario Jaya Winata, SH.,MM yang sering disapa Adji Boli ini menjelaskan secara detail tata cara proses penobatan tersebut, “intinya Surat Keputusan Pengangkatan Putera Mahkota merupakan dasar hukum (legal standing) diangkatnya Putera Mahkota menjadi Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, bukan hanya sebatas kelengkapan administrasi”.
“Dalam sebuah penabalan/penobatan wajib mengikuti aturan main yang dituangkan dalam tata aturan yang tertuang dalam Undang-undang Panji Selaten, disitu jelas tertulis Tata Cara Proses Penobatan Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, dan wajib dijalankan dalam rangka pelestarian adat, jikalau tidak dijalankan, maka secara adat, tidak ada adat menjadi Sultan, dengan lain perkataan, Batal Demi Hukum Adat”, ujar HAP Ario Jaya Winata.
Dengan tegas Jubir Kesultanan Kutai Kartenagara ini menguraikan tahap demi tahap tata acara proses penabalan/penobatan untuk menjadi Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, “pertama, membentuk Lembaga Dewan Tata Nilai Adat yang beranggotakan tokoh-tokoh kerabat kesultanan, tokoh-tokoh masyarakat adat dan tokoh-tokoh masyarakat umum (tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh akademisi, tokoh organisasi kemasyarakatan) dalam rangka membahas Surat Keputusan (SK) Pengangkatan Putera Mahkota untuk mendapatkan kata mufakat, sebagaimana dinyatakan pada Undang-undang Panji Selaten pasal 10 yang berbunyi bulat air lalu di bulah, baju jaitan dalam balai, Raja menjadi tanda negeri, syarat mufakat yang dipakai”.
“Tata cara kedua, naskah kata mufakat ini diberitahukan kepada pihak Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur (Kesultanan Kutai Kartenagara Ing Martadipura dulu meliputi beberapa kabupaten dan kota se Kaltim, yakni Kutai Kartanegara, Samarinda, Kutai Timur, Kutai Barat, Bontang, Balikpapan, Mahakam Ulu dan sebagian Penajam Paser Utara) dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kesultanan berada di Tenggarong) untuk mendapatkan apresiasi, asistensi dan fasilitasi serta rekomendasi, salah satunya untuk menggunakan barang-barang pusaka Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang nantinya akan digunakan disaat penobatan, saat ini barang-barang pusaka tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, sehingga memerlukan surat permohonan peminjaman untuk kegiatan penobatan”, terang Adji Boli.
“Selanjutnya menuju tata cara ketiga adalah Ketua Dewan Tata Nilai Adat (yang sebelumnya telah terpilih) mengangkat dan melantik Kepala Adat Besar Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, untuk mengatur segala hal terkait penobatan sesuai dengan adat untuk orang yang di adati, setelah itu maka masuk ke proses keempat yakni Ketua Dewan Tata Nilai Adat yang di damping Kepala Adat Besar Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura membacakan Naskah Mufakat, yang menyatakan Putera Mahkota dengan predikat sebagai Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke XXI”, jelas anak dari Adji Abdul Azis gelar H Adji Pangeran Ario Djaya Winata tersebut.
HAP Ario Jaya Winata yang juga merupakan pensiunan Pegawai Negeri Sipil di Pemkab Kutai Kartanegara dan pernah mejadi kepala dinas di era Bupati Syaukani HR ini menyampaikan, “tahapan kelima dalam proses penobatan ini adalah sesuai Pasal 39 Undang-undang Panji Slaten bahwa calon Raja/Sultan harus berjanji sebelum di Ajumenangkan bahwasanya ia wajib taat dengan adat yang diadatkan di dalam negerinya dan teluk rantaunya, dengan berjanji beberkah aku rukat, bedahan aku simpak dan bersuli aku tempol, janji ini diucapkan karena desa rakyat bukan tunduk kepada keberanian dan kekuatan Raja/Sultan, tetapi desa rakyat hanya tunduk kepada adat yang diadatkan serta hukumnya”.
Dalam prosesi penobatan tersebut terjadi dialog antara Putera Mahkota dengan rakyatnya, “Tata cara keenam adalah Dialog Putera Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dengan para kaula di sebelah kanan, kiri dan tengah, seraya berkata “HAI INI AKU TITISAN DARAH RAJA KUTAI, HAI KAULA DAN KERABATKU”, yang kemudian dijawab secara bergantian para kaula dan kerabat di sebelah kanan, kiri dan tengah “PAKULUN PATIK ADJI”, kemudian secara bersamaan para kaula dan kerabat disebelah kanan, kiri dan tengah berkata “DAULAT PATIK ADJI” (berarti rakyat mendaulat), maka sejak saat itu juga Putera Mahkota resmi menjadi Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang ke XXI”, urai Adji Boli dengan mata sembab mengingat sejarah datok-datok beliau di Kesultanan Kutai tempo dulu.
“Setelah sah menjadi Sultan, tahapan ketujuh adalah Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura XXI yang baru saja didaulat, memasang kalung Ciwa, Uncal dan benda pusaka lainnya, dan memasang sendiri mahkota/crown, serta menghunus Keris Buritkang dan meletakkannya sebentar di kepala, dahi, hidung, mulut dan di dada”, sebut Adji Boli sambil memperagakan cara memposisikan benda pusaka tersebut di anggota tubuh.
Haji Adji Pangeran (HAP)Ario Jaya Winata, SH., MM Kemudian menjelaskan, “tahapan terakhir dalam tata cara proses penobatan yakni mempersiapkan Erau dalam rangka mengucapkan selamat, kenapa Erau baru dilaksanakan, karena Sultan baru didaulat, sehingga Erau tanpa Sultan tiada adatnya, artinya Yang di Eraukan Sultan, Yang meng-Erau-kan Kerabat dan Yang Erau adalah rakyat”. (red/Ary)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru