Share ke media
Opini Publik

Pelibatan Asing dalam Layanan Kesehatan Hak Rakyat dikomersialisasi

01 Apr 2024 03:15:48519 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : nasional.kompas.com - UU Kesehatan Terbaru Bolehkan Tenaga Medis dan Kesehatan WN Asing Praktik di Indonesia, Ini Prosedurnya - 12 Juli 2023

Samarinda - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau membuka keran lebar bagi investor yang hendak berinvestasi di bidang kesehatan di Berau. Menanamkan saham itu berupa bangunan rumah sakit yang dapat memberikan pelayanan langsung kepada warga “Bumi Batiwakkal”.

Semangat itu selaras dengan 18 program prioritas pemerintah daerah dalam kerja periode Sri Juniarsih dan Gamalis, sebagai bupati dan wakil bupati Berau. Ditemui usai membuka hajatan Hari Jadi ke 112 Teluk Bayur, pada Minggu (26/2/2024) malam lalu (berauterkini.co.id, 27/02/24). Keran investasi pun dianggap menjadi corong untuk membantu pemerintah dalam kesejahteraan.

Berdasarkan UU Kesehatan no 17 tahun 2023 terjadi perubahan pelaksana program pemeliharaan kesehatan. Rumah Sakit, bukan lagi sebagai kepanjangan tangan dari pelaksanaan program pemeliharaan kesehatan rakyat menjadi sebuah industri kesehatan yang membuka peluang kepada siapa pun termasuk pihak asing untuk menjalankan usaha di Indonesia berikut dengan tenaga medis asing.

Dengan demikian, pelaksana pemeliharaan kesehatan sudah bergeser, yang sebelumnya dijalankan oleh tenaga medis dan rumah sakit yang terstandarisasi oleh negara menjadi dijalankan oleh swasta atau bahkan pihak asing.

Ilmu kedokteran mengenal istilah “adiksi” (ketergantungan). Menurut KBBI, “adiksi” berarti ‘kecanduan atau ketergantungan secara fisik dan mental terhadap suatu zat’. Sikap pemerintah yang membuka investasi asing ketika kesulitan untuk membangun rumah sakit dapat kita analogikan dengan istilah ini (adiksi) karena hal ini menjadikan Indonesia “ketergantungan” terhadap asing.

Dibukanya investasi dlm bidang kesehatan/ bangun RS menunjukkan negara gagal dlm memenuhi layanan kesehatan masyarakat. Raport merah RS negeri harusnya evaluasinya perbaiki layanan bukan malah mengundang investor untuk membangun RS swasta. Layanan kesehatan merupakan hak kebutuhan masyarakat, negara wajib memenuhinya.

Jika asing /swasta menguasai sektor kesehatan suatu negara, sementara sektor ini menyangkut hajat hidup warga negaranya sendiri, hal ini membuktikan pemerintah berlepas tangan dalam tanggung jawab tersebut. Bahkan, pemerintah mengingkari dasar konstitusi negaranya sendiri, yaitu UUD 1945 pasal 28 I ayat 4 yang menyatakan bahwa pemenuhan hak asasi manusia, termasuk pelayanan kesehatan, adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Kondisi ini sejalan dengan penerapan sistem sekuler kapitalisme liberal yang memposisikan negara memang tidak bertindak sebagai pengurus umat melainkan regulator saja. Bahkan, dalam sistem ini negara mmbangun hubungan dengan rakyatnya layaknya hubungan bisnis semata termasuk soal layanan publik.

Dalam Islam, kesehatan adalah bagian dari kebutuhan pokok pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab negara. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW. “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari).

Negara akan memberikan jaminan pembiayaan kesehatan, penyedia dan pelayanan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan SDM kesehatan, hingga jaminan tersedianya sarana dan fasilitas kesehatan (meliputi alat kesehatan, obat, dan teknologi). 

Nabi Muhammad SAW SAW. pun dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara pernah mendatangkan dokter untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Ubay. Saat Nabi saw. mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya (HR Muslim). 

Sebagaimana tercatat dalam tinta emas kegemilangan peradaban Islam, bahwa pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, Cordoba memiliki lebih dari 50 RS, Kota Baghdad memiliki 60 Bimaristan (Rumah Sakit) dengan >1.000 dokter, Bimaristan Al-Mansuri (Kairo) mengakomodir hingga 8000 pasien, dan RS al-Dhudi (Baghdad) mampu melayani 4.000 pasien/hari. 

Pada masa itu, Abbasiyah menyediakan Apotek dan RS keliling bagi orang yang cacat dan masyarakat desa yang diangkut oleh >40 unta untuk menjamin tidak ada daerah tertinggal dan masyarakat yang tidak mendapat layanan akses kesehatan.

Dalam Islam layanan kesehatan akan diberikan secara optimal tanpa membedakan status sosial rakyatnya. Kesehatan adalah hak rakyat yang harus diberikan negara dengan murah bahkan gratis. Di sini negara tidak akan menjadikan masalah kesehatan sebagai bisnis semata. Malah negara akan memberikan layanan kesehatan yang berkualitas baik yang akan didapatkan rakyat secara merata. 

Jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada, maka akan dapat mengakibatkan terjadinya bahaya (dharar), yang dapat mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab negara.

Dengan demikian, negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta, maupun kepada rakyatnya sendiri.

Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar. Dana tersebut bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariat. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya; dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur; dari hasil pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. 

Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, tentu dengan kualitas yang jauh lebih baik daripada yang berhasil dicapai saat ini di beberapa negara. Kuncinya adalah dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh). Wallahu a’lam bishawaab.

Oleh Isna Purnama (Pemerhati Masalah Politik dan Sosial)