Share ke media
Opini Publik

Pencegahan Pernikahan Dini, Mampukah Menyelamatkan Generasi?

07 Oct 2024 12:08:3540 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : nasional.tempo.co - Rata-rata Perempuan di Jawa Barat Menikah Umur 18 Tahun - 10 November 2016

Samarinda - Pemuda Katolik Mahulu Kaltim menggelar sosialisasi di SMAN 1 Long Bagun dengan tajuk “Membangun Generasi Emas Menuju Masa Depan yang Lebih Cerdas”. Sosialisasi ini bertujuan untuk memberikan edukasi terkait dampak negatif pernikahan dini baik dari segi ekonomi, kesehatan, maupun sosial serta upaya-upaya pencegahan pernikahan dini kepada generasi muda demi masa depan yang lebih cerah. (Tribun Kaltim, 20/09/2024)

Sosialisasi dan edukasi terkait pencegahan perkawinan dini semakin digencarkan terutama menyasar siswa-siswa SMA dan sederajat. Pemerintah bersama berbagai berbagai pihak terus mensosialisasikan gerakan pencegahan pernikahan dini di berbagai daerah di Indonesia.

Banyak faktor yang melatarbelakangi massifnya sosialisasi nikah dini. Salah satunya usia remaja yang dipandang belum siap untuk menjalani sebuah pernikahan. Ada potensi stress dan masalah kesehatan serius seperti keguguran, kematian janin, kematian bayi dan kematian ibu, serta potensi rumah tangga yang tidak harmonis, yang berujung pada kasus perceraian. Jadi, dipandang perlu untuk memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja untuk merencanakan pernikahan dengan matang serta mempertimbangkan kesiapan fisik, mental, ekonomi, kesehatan, sosial, hingga pengaturan jarak kehamilan.

Gerakan mencegah pernikahan dini adalah bentuk perhatian atas kekhawatiran pemerintah terhadap nasib generasi muda. Namun, muncul pro kontra di masyarakat sebab gerakan ini beriringan bersama dikeluarkannya PP no. 28/2024 tentang alat kontrasepsi bagi usia remaja. Banyak pihak menduga alat kontrasepsi yang dimaksud ditujukan untuk remaja gaul bebas agar tidak hamil dan menikah muda. Meski pemerintah menampik dan menegaskan bahwa remaja yang dimaksud hanyalah remaja yang sudah menikah, kekhawatiran masyarakat tetap tak terbendung karena sejak awal isi peraturan tersebut memang multitafsir. 

Perlu diketahui angka pernikahan dini di Indonesia masih cukup tinggi. Untuk wilayah Kaltim, perkawinan usia dini marak di Kota Bontang, khususnya di Kecamatan Bontang Selatan. Data tahun 2023 ada sebanyak 14 pengajuan dispensasi kawin atau pernikahan dini. Belasan anak tersebut menikah karena mengalami kehamilan yang tak diinginkan. (Kaltim.Akurasi, 05/02/2024)

Tak hanya karena hamil di luar nikah, faktor lain seperti adanya kekhawatiran orangtua terhadap pergaulan bebas dan kenakalan remaja menjadi alasan nikah dini di beberapa tempat. Misalnya yang terjadi di Mojokerto, dikutip dari kemlagi-mjkkab.desa.id sejak Januari hingga Juli 2024 tercatat 182 remaja memutuskan untuk menikah atau setara ada 26 pasangan dibawah 19 tahun memutuskan menikah setiap bulannya. 

Ketakutan orangtua bukan tak beralasan. Fenomena hamil diluar nikah membuat orangtua memilih cari aman menikahkan anak demi menghindari perzinahan. Meskipun anak masih minim persiapan, orangtua beralasan menghindari kemudharatan yang lebih besar.

Dari dua faktor ini kita dapat melihat masalah sebenarnya terletak pada gaya hidup liberal yang kian mencengkram generasi muda. Liberalisasi menjamin kebebasan individu dalam pergaulan tanpa batas. Pacaran, gonta-ganti pasangan, friend with benefit, dan istilah serupa lain yang intinya adalah perzinahan menjadi lumrah dan semakin dinormalisasi. 

Berfokus menekan angka pernikahan dini saja tidaklah tepat jika faktor utamanya yaitu gaul bebas tidak dilarang bahkan dibiarkan jadi trend. Pergaulan bebas inilah sumber masalah utamanya. Terlebih di era digital saat ini, konten-konten berbau pornografi dan pornoaksi bebas berseliweran. Para influencer di tiktok, instagram, youtube, dan sejenisnya dengan pengikut jutaan, kerapkali memamerkan aktifitas pacaran dengan bangga. Konten dan informasi seputar kehidupan seksual suami istri pun saat ini dengan mudah ditonton, didengar, dan dibagikan. Inilah yang memicu stimulus yang membangkitkan syahwat pada anak usia remaja.

Dalam Islam, pernikahan/perkawinan merupakan pengaturan hubungan antara unsur kelelakian (maskulinitas) dengan unsur keperempuanan (feminitas) dengan aturan khas. Islam menganjurkan para pemuda yang telah mampu untuk menikah sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena puasa adalah perisai baginya.” (Muttafaq ‘alaih).

Allah menciptakan manusia dengan naluri nau’ (ketertarikan pada lawan jenis) dan Allah menjadikan pernikahan sebagai solusi atas munculnya nau’ tersebut. Namun perlu diingat, seseorang yang ingin menikah hendaknya mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebab pernikahan adalah ibadah seumur hidup yang butuh kesiapan mental, fisik, dan ilmu. Jangan sampai ikatan pernikahan menjadi rapuh karena munculnya berbagai masalah akibat ketidaksiapan tersebut.

Islam mengatur agar semua elemen memaksimalkan peran untuk mendidik generasi yang siap memasuki jenjang pernikahan. Di keluarga, anak laki-laki dan perempuan dididik sesuai fitrahnya. Anak lelaki dididik dengan karakter menjadi qowwam (pemimpin) dan anak perempuan dengan karakter keibuan. Anak diajarkan untuk menutup aurat, mengenal batasan pergaulan sesuai syariat, menundukkan pandangan, dan dibiasakan untuk berpuasa. Pondasi akidah yang kuat juga perlu ditanamkan di level keluarga. Anak wajib dipahamkan tentang benar-salah, pahala-dosa, serta halal-haram sesuai syariat Islam.

Di sekolah, kurikulum pendidikan berfokus membentuk kepribadian sesuai pola pikir dan pola sikap Islam. Anak diberi penguatan karakter pemimpin dan calon ibu sesuai jenis kelamin. Anak juga dibekali skill yang sekiranya dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga misalnya memasak, menjahit, dan sebagainya. Kesibukan-kesibukan  dalam hal bermanfaat akan memalingkan anak dari aktifitas-aktifitas haram dan sia-sia.

Negara juga hadir memberikan edukasi persiapan pernikahan. Edukasi mengenai kehidupan rumah tangga, kewajiban dan hak suami istri, pola asuh, pemenuhan gizi keluarga, ekonomi, dan lain-lain. Negara berperan menyiapkan mental dan kesanggupan untuk menikah bagi para pemuda serta wajib memadamkan pemicu syahwat di ruang-ruang umum dan media sosial, seraya aktif melakukan edukasi pernikahan sesuai syariat

Sinergi berbagai elemen inilah yang tak nampak dalam sistem kapitalis liberal saat ini. Fokus penyelesaian masalah hanya pada pencegahan pernikahan dini karena berpotensi membahayakan fisik, mental, kesehatan, dan ekonomi yang mempertaruhkan masa depan generasi muda. Padahal pergaulan bebaslah akar masalah utama yang harus disetop. Jangan sampai upaya pencegahan pernikahan dini malah berbalik menyuburkan perzinahan. Nauzubillahimindzalik. Hanya aturan Islam yang bisa menyelamatan generasi dari kehancuran dan membawa kembali peradaban cemerlang berisikan generasi-generasi tangguh, cerdas, dan siap berdedikasi mengambil tanggungjawab di tengah masyarakat. Wallahu a’lam bishshawab

Oleh: Zakiyatul Fakhiroh, S.Pd  (Pendidik dan Pemerhati Generasi)