Samarinda - Bagi mayoritas orang, adalah suatu kegembiraan ketika mendengar “perusahaan Jepang ingin berinvestasi ke perusahaan kita”. Apalagi ketika kita sudah berusaha keras mempersiapkan segala hal untuk menarik investor masuk, karena pasti keuntungan materi pun ikut masuk berlimpah. Dan sudah sewajarnya, para karyawan perusahaan itu ikut bergembira, walau tidak tahu dikemudian hari bisa jadi harus menanggung getahnya ketika mendadak investasi ditarik kembali.
Memang, sudah merupakan “resiko bisnis”, ketika kita berbicara tentang investasi dan bisnis. Untung dan rugi pasti harus ditanggung, sayangnya tidak hanya individu, tapi juga seluruh poersonel yang terlibat disuatu perusahaan.
Inilah menariknya membahas investasi asing ini. Kita pun juga harus punya panduan dasar untuk memahami investasi asing, yang tidak hanya dipandang dari aspek “sekedar bidang ekonomi” tetapi juga dari sisi politiknya. Kita membahas investasi bukan sekedar membahas barang, tapi juga kebijakan yang terkait didalamnya. Maka, panduan itu butuh panduan dasar yang melingkupi semua bidang, yaitu dari sudut pandang ideologi yang mendasari si orang yang ingin memahaminya.
Untuk seorang Muslim, agar ia jernih memandang suatu masalah, harus menggunakan panduan Ideologi Islam. Islam yang menjadi panduan hidupnya, adalah Islam yang sifatnya universal, bukan sekedar untuk ibadah ritual, karena Islam memang tidak bisa disamakan dengan sekedar akidah ruhiyah semata, seperti agama yang lainnya.
Investor Asing Berdatangan, Berminat Investasi di IKN Baru
Dalam rangka membangun IKN Nusantara, atau Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur, pemerintah membuka peluang seluas-luasnya bagi para investor untuk menginvestasikan dananya.
Dilansir dari Kompas.com, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, perkembangan minat investasi di IKN Nusantara saat ini, meningkat 40 kali lipat setelah market sounding kedua yang diadakan pada 18 Oktober 2022 yang lalu. Hal ini tercermin dari kebutuhan lahan seluas 1400 hektar di zona 1B dan 1C, Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP IKN.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono melakukan pertemuan dengan sejumlah delegasi Jepang di Jakarta, Selasa (29/11/2022). Delegasi Jepang dipimpin oleh Penasehat Utama japan Bank fot International Cooperation (JBIC Hiroto Izumi.
Dilansir dari Kompas.Com, Basuki mengatakan, pertemuan tersebut membahas tindak lanjut penguatan kerjadama Pemerintah Indonesia dan jepang dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN Nusantara di Kalimantan Timur.
Duta besar (Dubes) Inggris untuk Indonesia dan Timor LEste, Owen Jenkins mengatakan, Inggris siap mendukung Indonesia dalam proyek Ibu Kota Nusantara atau IKN Nusantara, terutama pembangunan berkelanjutan yang ramah terhadap iklim.
Ia menyatakan bahwa Inggris telah memberikan beberapa studi untuk mendukung tujuan pembangunan IKN Nusantara seperti pemodelan ekonomi sirkular, guna mendukung perencanaan net-zero diberbagai sektor.
Dan pada akhirnya, kita dapati kesuksesan pemerintah dalam mengundang investor asing masuk memberikan investasinya dengan ditandaanganinya kontrak untuk 18 kegiatan dibulan November-Desember 2022 sebesar 9,8 Triliun rupiah.
Benarkah ini sesuatu yang membanggakan dan pasti berimbas pada perubahan derajat kehidupan masyarakat kita? Adakah hal-hal dibalik investasi asing yang menggiurkan ini, yang justru bisa mendatangkan kerugian atau bahkan bahaya bagi bangsa ini?
Investasi, Topeng Penjajahan Gaya Baru
Definisi penanaman modal menurut UU No. 25 tahun 2007, tentang penanaman modal adalah, “Segala bentuk penanaman modal baik penanaman modal domestik maupun asing, untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia”. Kamaruddin Ahmad memberi definisi,”Menempatkan uang atau dana dengan harapan untuk memperoleh tambahan atau keuntungan tertentu atas uang tersebut”. Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia, investasi adalah “penanaman modal dalam proses produksi, dengan demikian cadangan modal barang diperbesar sejauh tidak ada modal barang yang harus diganti”.
Namun demikian karena Indonesia sebagai sebuah negara bukan ruang kosong tanpa aturan, sedangkan pembentukan negara memiliki tujuan yang jelas sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUDRI 1945, maka pemerintah yang diamanahi untuk menjalankan fungsi negara tersebut membuat regulasi sehingga apapun kegiatan yang dilakukan di Indonesia tidak menyimpang dari orientasi dibentuknya negara, termasuk dalam investasi.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indoneia tahun 1945, bahwa didirikannya negara Indonesia ini dengan tujuan yang jelas, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian sebenarnya Indonesia menganut paham walfare state (negara kesejahteraan), dimana jaminan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya (Alfitri, Ideologi Walfare State Dalam Dasar Negara Indonesia; Jurnal Konstitusi ; Volume 9, No 3, September 2012, h. 449).
Menurt Jimly Asshiddiqie, Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state) yang mengidealkan sifat intervensionisme negara dalam dinamika perekonomian masyarakat, semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat”.
Kemudian tujuan negara itu dibrackdown secara konseptual dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 33 ayat 1 Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat 2 Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. Ayat 3 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
MK menolak pandangan bahwa penguasaan oleh negara berarti kepemilikan dalam konsep hukum perdata atau hanya sebatas pengaturan. Penguasaan oleh negara haruslah diartikan sebagai tindakan untuk merumuskan kebijakan (beleid), melakukan tindakan pengurusan (bestuur sdaad), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad)”. Kewenangan negara untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut adalah kumulatif dan tidak boleh direduksi. official zlibrary domain z lib . Find free books Tujuan negara untuk menguasai cabang produksi yang penting adalah demi ketersediaan yang cukup, distribusi yang merata, dan terjangkaunya harga bagi banyak orang.
Dari teori ini maka ketika pemerintah melakukan kontrak karya dengan perusahaan asing khususnya dibidang pertambangan dan eksplorasi sumber daya alam, maka orientasinya adalah bagaimana PMA tersebut melahirkan kesejahteraan masyarakat, maka melakukan PMA dengan tujuan semata-mata kepentingan politik praktis (politic minded), bertentangan dengan hukum, apalagi jika menyebabkan terancamnya kedaulatan bangsa.
Kemudian pada Teori Neokolastik, ada Kaplinsky berpendapat bahwa investasi asing diperlukan dalam mengembangkan perkembangan dan pembangunan suatu negara. Pendapat ini didukung oleh Adi Harsono, John W. Head, William E. Fennel, Joshef W. Tyler dan Eric M. Burt, yang menjelaskan keuntungan investasi Asing itu meliputi : Modal kerja, keahlian, devisa, tidak melahirkan hutang baru, lowongan kerja, meningkatkan ekspor, mendapat pajak tambahan dan sebagainya. namun juga harus tetap diwaspadai terhadap efek negatif dari PMA ini, diantaranya adalah: kerusakan lingkungan, determinasi terhadap perusahaan lokal, dan bahkan bisa mengancam kedaulatan suatu negara berupa dominasi terhadap kebijakan negara.
Sisi negatif lainnya dalam PMA dan ini yang terpenting adalah upaya intervensi pihak PMA kepada pemerintah, yang melibatkan kekuasaan internasional yang menyangkut masalah kedaulatan negara. Seperti yang diberitakan majalah Forum Keadilan.
Pemodal yang kuat akan melumpuhkan yang lemah, jadilah korporasi raksasa yang akan menguasai ekonomi dunia. Tidak heran jika kekayaan orang-orang terkaya dunia mengalahkan kekayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) suatu negara.
Atas nama investasi, kaum kapitalis menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di negara-negara berkembang (miskin). Demikian juga SDM-nya diiming-imingi lapangan kerja, tetapi dengan gaji murah.
Kenaikan gaji sulit bisa terealisasi karena tingginya tingkat pengangguran. Mau tidak mau, berapa pun gaji yang ditawarkan perusahaan, harus diterima daripada tidak ada penghasilan sama sekali. Di samping itu, harga-harga kebutuhan juga selalu naik. Akhirnya rakyat menjadi “sapi perah” korporasi. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga mengatakan tingginya nilai investasi tidak mampu menyerap banyak tenaga kerja. Ia membandingkan, selama Januari—September 2014 misalnya, serapan tenaga kerja dari investasi Rp343 triliun mencapai 960.336 orang, sedangkan tahun ini hanya 965.122 orang dari investasi Rp892,4 triliun.
Artinya, pemerintah telah “menipu” rakyat dengan narasi investasi untuk menciptakan lapangan kerja. Bahkan, UU Omnibus Law Cipta Kerja sengaja dikebut untuk memuluskan investasi, padahal mayoritas rakyat menolaknya.
Pernah dengar,“Jangan terlalu alergi dengan investasi,”? Inilah narasi yang dikemukakan pemerintah atau ekonom agar rakyat mau menerima para investor, baik asing maupun swasta.Dengan narasi seperti ini lahir dari sistem kapitalisme yang memandang investasi sebagai faktor penentu peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Adapun posisi negara dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator sehingga swasta menjadi pelaku utama ekonomi dan negara jadi bergantung pada investasi swasta. Akhirnya, mayoritas rakyat juga bergantung pada swasta.
Konsep inilah yang membuat swasta (korporasi) menjadi penguasa sebenarnya di negara yang menganut sistem kapitalisme. Kekuatan ini menjadikan investasi sebagai alat tawar swasta untuk menekan suatu negara. Sejatinya, inilah penjajahan bertopeng investasi asing. SDA terjual, kedaulatan tergadai,rakyat tercekik.
Jangan Berharap pada Kapitalisme, Kembalilah kepada Islam
Kapitalisme memang tidak memiliki konsep pemenuhan kebutuhan rakyat Individu per individu. Indikator yang dipakai hanya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang dihitung secara general, sedangkan segala hak itu dibutuhkan oleh masing-masing individu.
Lantas bagaimana mungkin setiap rakyat negara ini masih berharap pada investasi bahkan kapitalisme?
Pemenuhan kebutuhan setiap individu rakyat hanya bisa dilakukan oleh negara, bukan korporasi; negara yang memiliki fungsi sebagai pelayan rakyat, bukan regulator. Tentu saja negara seperti ini hanya bisa ditemukan dalam sistem Islam.
Negara dalam Islam akan tunduk dalam aturan yang bersumber dari Wahyu Allah. Allah telah mengatur negara sebagai pelayan rakyat, termasuk tata cara (metode) negara untuk mampu melakukan itu semua. Mulai dari pemerincian hak-hak rakyat yang harus dipenuhi, hingga sumber dana untuk pemenuhan hak tersebut.
Sumber dana itu telah diatur dalam bentuk pengelolaan harta milik umum berupa barang tambang, laut, hutan, dan milik negara (jizyah, kharaj, ganimah, dan zakat) oleh Baitulmal Khilafah secara langsung, bukan oleh investor. Negara tidak boleh menggunakan prinsip untung rugi atau beban, melainkan prinsip “rakyat adalah amanah” yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Dengan dasar inilah negara akan menyediakan lapangan kerja bagi warga negara, baik dalam akad ijarah maupun pemberian (iqtha’) modal atau pinjaman tanpa riba dari kas Baitulmal bagi warga negara yang ingin berwirausaha. Bukan seperti saat ini yang menjadikan bank sebagai sumber pemodalan riba. Dengan demikian, rakyat akan memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya. Untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan, negara akan memberikan fasilitas secara gratis tanpa diskriminasi, baik muslim maupun nonmuslim, kaya maupun miskin. Semua pembiayaan itu bersumber dari kas Baitulmal, bukan dari pajak yang dipalak dari rakyat.
Khilafah akan menerapkan aturan Allah Taala secara terintegrasi dan berkesinambungan. Dengan demikian, seluruh hak rakyat akan diatur secara amanah oleh negara, bukan diserahkan pada masing-masing individu rakyat. Itu semua bisa terwujud tentu tidak lepas dari dukungan rakyat. Pemikiran dan perasaan rakyat akan satu frekuensi dengan peraturan yang diterapkan negara. Bagaimana cara menyamakan itu semua? Tidak lain akan lahir dari keimanan kepada Allah yang diyakini rakyat dan penguasa. Konsekuensi keimanan itu akan melahirkan kesadaran untuk menerapkan aturan Allah secara kafah. Itulah dasar membangun Khilafah, bukan asas sekularisme sebagaimana saat ini.
Wallaahu’alam.
Oleh : Penulis: Yulita Andriani
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isiredaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru