Oleh: M. Husni Fahruddin Al Ayub, A.Md, S.Hut, SH, MH CLA - Ketua Tim Pemenangan AnNuR
Kira-kira 3 bulan 20 hari, sebagian dari kita “kehilangan” sosok Rita Widyasari. Sebagian lagi, mungkin, tak merasa kehilangan—bahkan merasa “senang”.
Kira-kira 3 bulan 20 hari, harapan yang membuncah itu tiba-tiba pupus di tengah jalan. Kita sejenak terenyuh karena kehilangan asa, seolah-olah tak lagi menemukan muara dan terpisah oleh ruang dan waktu. Kita tercerai berai!
Masa-masa paling gelap dalam sejarah kita itu kini mulai menemukan secercah pelita di ujung sana. Keluarga besar kita yang setia berlindung di bawah rindangnya pohon beringin, telah menentukan pilihan.
Kita mahfum—bagaimanapun—Rita Widyasari adalah representasi Partai Golongan Karya. Gerbang Raja menuju Kalimantan Timur adalah manifesto sesungguhnya dari Rita Widyasari; sosok yang ingin ibukota Benua Etam serupa Tenggarong, Kutai Kartanegara. Ia merepresentasikan Kaltim adalah kita!
Unsur kearifan lokal—adat dan budaya yang adi luhung—dari Kota Raja merepresentasikan Kaltim serupa Erau Pelas Benua; memberi makam Bumi tempat kita berpijak, membersihkannya dari unsur jahat dan gelap, lalu mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kini, tongkat estafet itu diberikan penuh kepada pelita baru bernama An-Nur—Andi Sofyan Hasdam dan Nusyirwan Ismail. Maka, tak salah kiranya, jika kita melihat An-Nur sebagai representasi visi-misi Rita Widyasari untuk Kaltim 5 tahun yang akan datang.
Kita memang serupa Sisifus, yang mendorong bongkahan batu karang ke puncak gunung—pada akhirnya batu karang itu bergulir jatuh kembali berkali-kali. Namun esai filsafat dari Albert Camus tersebut memiliki kesimpulan penting; “Perjuangan itu sendiri, sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Sisifus berbahagia.” (*)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru