Share ke media
Opini Publik

Pencemaran dan Hilangnya Lahan Pertanian Akibat Tamaknya Pertambangan

27 Jan 2023 12:00:21485 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : beritabaru.co - Walhi Sebut Maraknya Tambang Ilegal Dampak Ketimpangan Penguasaan Lahan - 16 Oktober 2021

Samarinda - Pada Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah se-Indonesia 2023, Selasa, 7/12023 lalu, Presiden Jokowi menyinggung ketersediaan dan harga beras di daerah. Presiden mengimbau agar para kepala daerah mengendalikan harga bahan pokok. Selain itu, Negeri ini juga tengah berusaha memperluas wilayah pertanian sebagai lumbung pangan. Namun hal tersebut akan sulit terealisasi jika lahan pertanian saja banyak beralih fungsi. Baik pembangunan maupun pertambangan. Parahnya lagi jika itu pertambangan ilegal. Sebagaimana yang terjadi di Desa Sumber Sari, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara.

Pada Kamis Kamis (19/1), rombongan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim bersama pihak Desa Sumber Sari mendatangi lokasi bukaan tambang ilegal. Terdapat segunung batu bara hasil galian. Juga sebuah alat berat di lokasi tersebut. (kaltim.prokal.co, 20/1/2023) Selain itu, aktivitas pertambangan yang diduga ilegal juga telah mengakibatkan pencemaran Sungai Pelay di Loa Kulu yang mengancam kehidupan warga di 3 desa dan 1 kelurahan di Kecamatan tersebut. Yakni Desa Sumber Sari, Ponoragan, Sepakat dan Bukit Biru. Dimana air sungai tersebut dulunya bersih dan jernih, tapi kini menguning. Menandakan tingkat keasaman air tinggi, akibatnya mempengaruhi Sungai Pelay. Padahal sungai inilah menjadi sumber kehidupan mereka, untuk mengairi sawah dan kolam warga.(mediakaltim.com, 19/1/2023)

Bisnis tambang emas hitam memang sangat menggiurkan. Sehingga tak heran jika para kaum kapital berlomba-lomba menekuninya. Tidak peduli legal maupun ilegal. Terpenting bagi mereka adalah bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tanpa peduli lokasi tambang apakah lahan pertanian atau bukan. Bahkan lokasi tambang sekarang sudah merambah kepemukiman warga. Dampak kerusakan akibat aktivitas pertambangan pun begitu besar. Mulai dari percemaran, longsor, banjir, rusaknya rumah warga di daerah lingkar tambang hingga korban jiwa dari lubang bekas galian tambang ini. Parahnya lagi kerusakan ini dinikmati oleh rakyat. Pertambangan yang digadang-gadang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat daerah lingkar tambang nyatanya tak sebanding juga dengan kerusakan lingkungan dan pemukiman yang mereka dapatkan.

Persoalan tambang yang dikuasai oleh swasta terbukti hanya menimbulkan kerusakan yang semakin parah dan tentunya sangat merugikan rakyat. Ditambah lagi dengan keberadaan tambang ilegal yang semakin marak dan semakin berani berulah yang tentu semakin memperparah kerusakan yang terjadi. Hal ini menunjukkan liberalisasi di sektor SDAE. Baik yang mendapatkan payung hukum (legal) melalui undang-undang maupun yang tak berhukum (ilegal). Sementara payung hukum pertambangan melalui UU terus mengalami revisi. Dimana revisi UU tersebut semakin memanjakan pengusaha dalam mengeruk SDAE yang ada. Diantaranya dengan disahkannya UU Minerba No. 3 tahun 2020. Dalam UU ini terkait kegiatan reklamasi dan kegiatan pasca tambang semakin dimudahkan. Yaitu tertulis dalam UU Minerba Pasal 96 huruf b, kewajiban perusahaan dalam perbaikan lahan bekas tambang sekarang ini cukup mengerjakan salah satu kewajiban perbaikan saja. Perusahaan tambang bisa bebas memilih antara Kegiatan Reklamasi atau Kegiatan Pascatambang.

Padahal jika mengikuti aturan sebelumnya dalam UU No. 4 Tahun 2009, perusahaan tambang wajib melakukan semua kegiatan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang sekaligus menyetor dana jaminan Reklamasi dan Pascatambang. Meskipun ada aturan seperti ini, nyatanya di lapangan masih saja banyak terjadi pelanggaran berupa lubang-lubang bekas tambang batubara dibiarkan terbuka dan menjadi danau raksasa yang menelan korban jiwa. Bukannya mempertegas aturan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang dengan mempidanakan perusahaan yang tidak memperbaiki lahan bekas tambang, ajaibnya pemerintah justru membuat aturan baru yang membebaskan kewajiban pengusaha tambang perusak lingkungan dengan jalan mengubah isi Undang-Undang tersebut.

Tidak hanya itu, perusahaan yang terbukti abai dan tidak melaksanakan reklamasi ataupun kegiatan pascatambang, ternyata tetap bisa memperpanjang ijin kontraknya. Bahkan sesuai dengan UU Minerba Pasal 169A, dengan dalih meningkatkan penerimaan negara, pemerintah malah memberi jaminan perpanjangan kontrak berupa KK dan PKP2B sebanyak 2 kali 10 tahun. Hal ini semakin menunjukkan keberpihakan penguasa terhadap pengusaha. Mereka menjadikan UU sebagai pondasi atas legalnya pengerukan kekayaan alam milik rakyat ini. Adapun pemerintah hanya sebagai fasilitator yang memuluskan jalan pengusaha dengan dalih mendapatkan keuntungan dari pajak dan royalti semata. Tapi itu nyatanya terbantahkan dengan dampak kerusakan yang diakibatkan tambang.

Sehingga tak bisa dipungkiri, rusaknya kondisi lingkungan akibat ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab yang ada dalam lingkar penguasa dan pengusaha. Mereka-mereka ini “kompak” menelikung aturan-aturan demi memuaskan hasrat untuk penguasaan sumber daya alam demi kepentingan dan keuntungan pribadi dan kelompok. Inilah akibat penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Dimana pengelolaan SDAE diserahkan kepada pemilik modal baik swasta maupun asing yang ditambah hari ini dengan maraknya tambang ilegal. Sementara penguasa hanya sebatas regulator bagi pengusaha. Harta rakyat berupa SDAE diserahkan kepemilikannya kepada kepemilikan individu. Sehingga siapapun boleh memiliki, menguasai dan mengeksploitasi tambang sesukanya tanpa peduli akibat kerusakan bagi masyarakat dan lingkungan. Begitulah rusak dan tamaknya pertambangan dalam sistem kapitalisme.

Islam Menjaga Kerusakan Lingkungan Dari Pengelolaan SDAE

Berbeda dengan kapitalisme yang melegalkan individu, swasta bahkan asing menguasai sumber daya alam milik rakyat yang tak terbatas jumlahnya. Syariah Islam memandang hutan, air dan energi yang berlimpah merupakan milik umat. Rasulullah Saw bersabda :

“Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api” (H.R. Ahmad).

Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa tambang adalah representasi dari api. Dalam pandangan Islam, barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.

Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola negara untuk diberikan hasilnya kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadits tersebut, Abyadh diceritakan telah meminta kepada Rasul SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul SAW meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat : “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)”. Rasul SAW kemudian bersabda : “Tariklah tambang tersebut darinya.” Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus-menerus. Hadits tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Sikap pertama Rasul SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, Rasul SAW mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum.

Adapun semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu. Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, Ia menarik kembali pemberian itu. Namun untuk tambang-tambang terbatas boleh dimiliki individu dengan ketentuan tidak membawa kemudhorotan bagi masyarakat sekitar. Meskipun SDA terbatas atau tak terbatas tentunya dilarang dikuasai asing. Apalagi merugikan masyarakat dan menyebabkan penjajahan asing.

Selain itu, dalam Islam pelaksanaan pertambangan wajib menghindari kerusakan, antara lain: kerusakan ekosistem darat dan laut. Pencemaran air serta rusaknya daur hidrologi (siklus air). Menyebabkan kepunahan atau terganggunya keanekaragaman hayati yang berada di sekitarnya. Menyebabkan polusi udara dan ikut mempercepat pemanasan global. Mendorong proses pemiskinan masyarakat sekitar. Mengancam kesehatan dan keselamatan masyarakat. Serta kerusakan lainnya. Sehingga dalam pelaksanaan pertambangan (sebelum dan sesudah) maka harus berdasarkan proses dan mekanisme yang telah ditetapkan syariah. Kegiatan pertambangan diawali dengan proses studi kelayakan yang melibatkan masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders). Kemudian dilaksanakan dengan ramah lingkungan (green mining). Tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan melalui pengawasan (monitoring) berkelanjutan. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan reklamasi, restorasi dan rehabilitasi.

Kalaupun harus bekerjasama dengan perusahaan tertentu, hanya sebatas menggunakan jasanya saja, bukan sebagai pemilik. Mereka akan dibayar sesuai dengan jasa yang digunakan. Sehingga semua proses mulai dari pemilihan lokasi, aktivitas eksplorasi, distribusi, sampai pemulihan pasca tambang selalu dalam pengawasan ketat pemerintah. Sehingga pemerintah bebas menyalurkan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau bahkan gratis. Demikianlah Islam telah mengatur secara tegas tata cara pengelolaan SDAE. Visi pengelolaannya didasarkan pada mindset bahwa SDAE adalah milik umum yang wajib dikelola oleh negara, dan hasilnya diperuntukkan kesejahteraan rakyat.

Maka sebagai kaum Muslim, sudah seharusnya dan sepatutnya kita mengambil aturan Islam untuk mengatur kehidupan kita dalam seluruh aspek kehidupan. Baik aspek ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan dan seterusnya. Mari bersama kita bergandengan tangan untuk mengembalikan penerapan Islam secara Kaffah oleh Negara.

Wallahua’lam Bishowab

Oleh : Meltalia Tumanduk, S. Pi (Pemerhati Masalah Sosial)

disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.